Minggu, 29 Desember 2013

Periwayatan Hadis secara Lafaz dan Makna

Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah Pengantar Ilmu Hadis
Dosen Pembimbing: M. Isa HA Salam, Dr, MAg
D
I
S
S
U
N
OLEH
Kelompok 13
Farhatul Muthiah
Fikri Ihsan
Meidy Inayati Asykarillah
Jurusan Tafsir-Hadis E Semester I
Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Jakarta
2013


KATA PENGANTAR

            Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah swt yang telah member rahmat dan hidayah-Nya serta akesehatan, keselamatan kepada kita semua, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik. Semata-mata hanya untuk menyempurnakan materi kuliah  PENGANTAR ILMU HADIS, dalam bentuk makalah yang berjudul “Periwayatan Hadis Secara Lafaz dan Makna.
            Penulis berharap apa yang telah penulis tuliskan ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca umumnya. Tak lupa pula penulis ucapkan ribuan terima kasih kepada Bapak dosen yang telah memberikan ilmunya dan pengarahannya serta bantuannya kepada penulis dalam penyelesaian tugas ini.
            Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Untuk itu, saran dan kritik yang bersifat memperbaiki dari para pembaca sangat penulis harapkan.
            Atas segala perhatiannya penulis ucapkan terima kasih. Penulis berharap semoga penyajian makalah penulis ini dapat diterima bagi para pembaca. Semoga Allah swt senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Aamiin.
  


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………………i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………..ii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………..1
1.      Latar Belakang…………………………………………………………………….1
2.      Rumusan Masalah…………………………………………………………………1
3.      Tujuan Pembahasan……………………………………………………………….1
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………………2
A.    Pengertian Periwayatan Hadis…………………………………………………….2
B.     Periwayatan Hadis secara Lafaz…………………………………………………...3
C.     Periwayatan Hadis secara Makna………………………………………………….6
BAB III PENUTUP………………………………………………………………………10
KESIMPULAN…………………………………………………………………..10
DAFTAR KEPUSTAKAAN……………………………………………………………..11

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sebagai salah satu sumber hukum Islam, hadis memiliki kedudukan yang penting bagi umat Islam. Malahan, hadis menjadi satu di antara dua panduan beragama umat Islam agar selamat dan tidak sesat dalam kehidupan di dunia. Begitu besar perhatian ulama dan umat Islam, berbagai kajian dan studi muncul untuk memahami hadis.
Dalam ajaran Islam, hadis atau  sunnah  menempati posisi yang sangat  penting, yaitu  sebagai sumber ajaran kedua setelah Al-Quran.  Jika didiskusi lebih spesifik lagi, dari sudut pandang periwayatan, setidaknya ada  dua cara periwayatan hadis. Pertama, periwayatan dengan lafaz , yaitu hadis  diriwayatkan  oleh perawinya sesuai dengan redaksi  atau lafal hadis yang diterimanya dari orang yang menyampaikan hadis tersebut kepadanya, tanpa ada perubahan, pengurangan, penambahan, atau perbedaan. Kedua, periwayatan dengan makna, yaitu  periwayatan  hadis dengan redaksi yang berbeda dari redaksi hadis yang diterima oleh para perawi, namun isi maksud dan maknanya sama.

B.  Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian periwayatan hadis?
2. Bagaimana pengertian periwayatan hadis dengan lafaz dan makna?
3. Bagaimana syarat-syarat periwayatan hadis?
C.  Tujuan Pembahasan
1. Ingin mengetahui pengertian periwayatan hadits.
2. Ingin mengetahui pengertian periwayatan hadis dengan lafaz dan makna.
3. Ingin mengetahui bagaimana syarat-syarat periwayatan hadis.

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Periwayatan Hadis
Terhimpunnya hadis dalam kitab-kitab hadis semisal Shahih Bukhari dan Shahih Muslim telah melalui kegiatan yang dinamai dengan riwayatul hadis atau al-riwayat. Dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan menceritakan hadis atau periwayatan.[1] Sesuatu yang diriwayatkan secara umum juga biasa disebut dengan riwayat.[2]
Kata riwayat adalah masdar dari kata kerja rawa yang berarti naql dan zikir. Artinya adalah penukilan dan penyebutan.[3] Dalam istilah ilmu hadis, riwayat adalah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis.
Perawi hadis adalah orang yang menerima hadis dari guru dan kemudian menyampaikan atau mengajarkannya kepada orang lain (murid). Dengan demikian ada dua fungsi perawi, yaitu menerima dan menyampaikan. Seorang sahabat yang menerima hadis dari Rasul, misalnya, tetapi dia tidak menyampaikannya kepada yang lain, maka ia tidak disebut perawi. Adapun proses penerimaan dan penyampaian hadis kepada yang lain disebut periwayatan.
Seorang perawi hadis dituntut menyampaikan hadis yang diterimanya dari rasul atau sahabat kepada lain seperti apa yang didengarnya tanpa disertai komentar. Perawi bukan pensyarah atau penjelas hadis yang disampaikan.Apabila ia memberi tambahan penjelasan atau komentar, maka tidak disebut materi hadis. Oleh sebab itu dia bukan perawi yang dipercaya dan diterima riwayatnya.[4]
Secara istilah riwayah adalah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis, serta penyandaran hadis itu kepada para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu.
Beberapa point penting yang harus ada dalam periwayatan hadis adalah sebagai berikut:
a.       Orang yang melakukan periwayatan hadis yang kemudian dikenal dengan  rawi (periwayat)
b.      Apa yang diriwayatkan
c.       Susunan rangkaian para periwayat (sanad/isnad)
d.      Kalimat yang disebutkan sesudah sanad yang kemudian dikenal dengan matan, dan
e.       Kegiatan yang berkenaan dengan proses penerimaan dan penyampaian hadis (at-tahamul wa ada al-hadis).

Pembatasan atau penyederhanaan periwayatan hadis, yang ditunjukkan oleh para sahabat dengan sikap kehati-hatiannya, tidak berarti hadis-hadis rasul tidak diriwayatkan. Dalam batas-batas tertentu hadis-hadis itu diriwayatkan, khususnya yang berkaitan dengan kebutuhan hidup masyarakat sehari-harinya seperti dalam permasalahan ibadah dan muamalah. Periwayatan tersebut dilakukan setelah diteliti secara ketat pembawa hadis tersebut dan kebenaran isi matannya.
Ada dua jalan para sahabat dalam meriwayatkan hadis dari Rasulullah saw. Pertama dengan jalan periwayatan lafzhi (redaksinya persis seperti yang disampaikan Rasul saw.), dan kedua, dengan jalan periwayatan maknawi (maknanya saja).
B.       Periwayatan Hadis secara Lafzhi
Periwayatan lafzhi adalah periwayatan hadis yang redaksinya atau matannya persis seperti yang diwurudkan Rasul saw, ini hanya bisa dilakukan apabila mereka hafal benar apa yang disabdakan Rasul saw.
Kebanyakan dari para sahabat menempuh periwayatan hadis melalui cara ini. Mereka berusaha agar periwayatan hadis sesuai dengan redaksi dari Rasulullah saw, bukan menurut redaksi mereka. Bahkan menurut ‘Ajjaj Al-Khathib, sebenarnya, seluruh sahabat menginginkan agar periwayatan itu dengan lafzhi bukan dengan maknawi.[5]  Sebagian dari mereka secara ketat melarang meriwayatkan hadis dengan maknanya saja, hingga satu huruf atau satu katapun  tidak boleh diganti. Begitu pula tidak boleh mendahulukan susunan kata yang disebut rasul di belakang atau sebaliknya, atau meringankan bacaan yang tadinya tsiqal (berat) dan sebaliknya.
 Dalam hal ini Umar bin Khattab pernah berkata:
 “Barang siapa yang mendengar hadis dari Rasul saw kemudian ia meriwayatkannya sesuai dengan yang ia dengar, orang itu selamat”.[6]
Periwayatan dengan lafaz ini dapat kita lihat pada hadis-hadis yang memiliki redaksi sebagai berikut:
1.                                            سمعت            (Saya mendengar)
  Contoh:
عن المغيرة قال: سمعت رسول الله صلّى الله عليه وسلّم يقول: إِنَّ كَذِباً عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّداً فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (رواه مسلم وغيره)
Artinya: Dari Mughirah ra, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya dusta atas namaku itu tidak seperti dusta atas nama orang lain. Maka siapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaknya ia menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Muslim dan lain-lainnya)
2.                                                              حدّثنى  ( ia menceritakan kepadaku)
 Contoh:
حَدَّتَنِى مَالِكٌ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ حُمَيْدِبْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ قَامَ رَمَضَانَ اِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ
مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Artinya: Malik dari Ibnu Syihab telah bercerita kepadaku, dari Humaidi bin Abdur Rahman dari Abi Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang melakukan qiyam Ramadhan dengan iman dan ihtisab, diampuni doasa-dosanya yang telah lalu.”
3.                                                             أخبرنى  (Ia memberitakan kepadaku)
4.                                                             رأيت  (Saya melihat)
 Contoh:                                                                                                                                             
عن عبّاس بن ربيع قال: رأيت عمربن الخطّاب رضي الله عنه يقبّل الحجر “يعنى الأسود” ويقول إِنِّى لاَءَ عْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لاَتَضُرُّ وَلاَ تَنْفَعُ وَلَوْلاَ أَنِّى رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ (رواه البخارى ومسلم)
Artinya: Dari Abbas bin Rabi’ ra., ia berkata: Aku melihat Umar bin Khaththab ra., mencium Hajar Aswad lalu ia berkata: “Sesungguhnya benar-benar aku tahu bahwa engkau itu sebuah batu yang tidak memberi mudharat dan tidak (pula) memberi manfaat. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah SAW. menciummu, aku (pun) tak akan menciummu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis yang menggunakan lafaz-lafaz di atas memberikan indikasi, bahwa para sahabat langsung bertemu dengan Nabi SAW dalam meriwayatkan hadis. Oleh sebab itu para ulama menetapkan periwayatan hadis dengan lafaz dapat dijadikan hujjah, dan tidak ada khilaf.
Di antara para sahabat yang paling keras mengharuskan periwayatan hadis dengan jalan lafzhi adalah Ibnu Umar. Ia sering kali menegur sahabat yang membacakan hadis yang berbeda (walau satu kata) dengan yang pernah didengarnya dari Rasul saw, seperti yang dilakukannya terhadap Ubaid ibn Amir. Suatu ketika seorang sahabat menyebutkan hadis tentang lima prinsip dasar Islam dengan meletakkan puasa Ramadhan pada urutan ketiga. Ibn Umar serentak menyuruh agar meletakkannya pada urutan ke empat, sebagaimana yang didengarnya dari Rasulullah saw.
Selanjutnya ulama’ ahli hadis sepakat akan keharusan periwayatan hadis secara lafal untuk hadis-hadis berikut ini:
1. Hadis-hadis yang berkaitan dengan penyebutan-penyebutan nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya. Mereka memandangnya sebagai sebagai suatu hal yang tauqifiy dan tidak boleh diganti dengan kalimat atau kata lain walaupun sepadan.
2. Hadis-hadis yang mengandung lafal-lafal yang dianggap ibadah (ta’abbudiya) misalnya hadis-hadis do’a.
3. Hadis-hadis tentang jawami’ al-kalim, yakni ungkapan pendek sarat makna yang mengandung nilai balaghoh yang tinggi dan periwayatannya secara makna tidak mungkin bisa mewakili seluruh kandungan makna hadis  yang dimaksud.
4. Hadis-hadis yang berkaitan dengan lafal-lafal ibadah, misalnya hadis tentang azan, iqamat, takbir, shalat, sighat syahadat, dan sighat akat.[7]

Perlu ditegaskan pula, ulama’ ahli hadis sepakat bahwa menjaga lafal hadis, menyampaikannya sesuai dengan lafal yang diterima dan didengarnya, tanpa merubah, mengganti huruf atau kata, adalah lebih utama daripada periwayatannya secara makna. Hal ini karena kalam Nabi adalah perkataan yang mengandung fashahah dan balaghah yang tidak ada bandingannya. Dan periwayatan secara makna otomatis akan menimbulkan perbedaan redaksi (dari redaksi semula dan antara periwayat yang berbeda).Bahkan redaksi hadis ini ada yang menyebabkan perbedaan makna atau maksud hadis.[8]
C.      Periwayatan Hadis secara Maknawi
Di antara para sahabat lainnya ada yang berpendapat, bahwa dalam keadaan darurat, karena tidak hafal persis seperti yang diwurudkan Rasul saw, boleh meriwayatkan hadis secara maknawi. Periwayatan maknawi artinya periwayatan hadis yang matannya tidak persis sama dengan yang didengarnya dari Rasul saw, akan tetapi isi atau maknanya tetap terjaga secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasul saw, tanpa ada perubahan sedikitpun.
Meskipun demikian, para sahabat melakukannya dengan sangat hati-hati. Ibnu Mas’ud misalnya, ketika ia meriwayatkan hadis ada istilah-istilah tertentu yang digunakannya untuk menguatkan penulisannya, seperti dengan kata: qala Rasul saw hakadza (Rasul saw telah bersabda begini), atau nahwan, atau qala Rasul saw qariban min hadza.[9]
Abu Bakar ibn al-‘Arabi berpendapat bahwa selain sahabat Nabi saw tidak diperkenankan meriwayatkan hadis secara makna. Alasannya adalah, yangpertama, sahabat memiliki pengetahuan bahasa Arab yang tinggi (al-fashahah wa al-balaghah), dan kedua, sahabat menyaksiakan langsung keadaan dan perbuatan Nabi saw.[10]
Periwayatan hadis dengan maknawi akan mengakibatkan munculnya hadis-hadis yang redaksinya antara satu hadis dengan hadis lainnya berbeda-beda, meskipun maksud atau maknanya tetap sama. Hal ini sangat tergantung kepada para sahabat atau generasi berikutnya yang meriwayatkan hadis-hadis tersebut.
Karakteristik yang menonjol pada era sahabat ini adalah, bahwa para sahabat memiliki komitmen yang kuat terhadap Kitab Allah. Mereka memeliharanya dengan lembaran-lembaran, mushaf, dan dalam hati mereka. Kehati-hatiannya terhadap Al-Quran ini juga diberlakukan terhadap sunnah meskipun di satu sisi ada larangan dari Nabi saw untuk menuliskannya. Meskipun demikian mereka berupaya mempertahankan kedua-duanya. Setelah Al-Kitab terkumpul dalam satu suhuf, mereka baru berani menuliskan sunnah Nabi.
Ulama hadis berpendapat bahwa selain sahabat boleh meriwayatkan hadis secara makna, namun dengan beberapa ketentuan. Di antara ketentuan-ketentuan yang disepakati para ulama hadis adalah:
a. Yang boleh meriwayatkan hadis secara makna hanyalah mereka yang benar-benar memiliki pengetahuan bahasa Arab yang mendalam. Dengan demikian, periwayatan matan hadis akan terhindar dari kekeliruan, misalnya manghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.
b. Periwayatan dengan makna dilakukan bila sangat terpaksa, misalnya Karena lupa susunan secara harfiah.
c. Yang diriwayatkan dengan makna bukanlah sabda Nabi dalam bentuk bacaan yang sifatnya ta’abbudi, seperti bacaan zikir, doa, azan, takbir, dan syahadat, dan juga bukan sabda Nabi yang dalam bentuk jawami’ al-kalim.
d. Periwayat yang meriwayatkan hadis secara makna, atau yang mengalami keraguan akan susunan matan hadis yang diriwayatkannya, agar menambahkan kata-kata ل قا كما  او , atau هذا نحو او , atau yang semakna dengannya, setelah menyatakan matan hadis yang bersangkutan.
e. Kebolehan periwayatan hadis secara makna hanya terbatas pada masa sebelum dibukukannya hadis-hadis Nabi secara resmi. Sesudah masa pembukuannya, maka periwayatan hadis harus secara lafaz.[11]
Dengan adanya ketentuan tersebut, maka para perawi tidak bebas dalam meriwayatkan hadis secara makna.
Shubhi Ismail  menyebut empat syarat  yang harus dipenuhi periwayatan dengan makna  adalah  pertama,  perawi hadis  itu betul-betul seorang yang alim  mengenai ilmu nahwu, sharaf dan ilmu  bahasa Arab; kedua, perawi itu harus mengenal dengan baik segala madlul lafal dan maksud-maksudnya; ketiga, perawi itu harus  betul-betul mengetahui  hal-hal yang berbeda di antara lafal-lafal tersebut; dan keempat, perawi itu harus mempunyai  kemampuan menyampaikan  hadis dengan  penyampaian  yang benar  dan jauh dari kesalahan  atau kekeliruan.  Di samping empat syarat  tersebut Abu Rayyah  menambah satu syarat lagi, yaitu tidak boleh penambahan atau pengurangan di dalam terjemahan (penyampaian hadis dengan makna) terserbut.[12]
Apabila syarat-syarat tersebut  tidak terpenuhi, maka tidak boleh meriwayatkan hadis  bil ma’na , tetapi boleh meriwayatkan bil-lafzh. Imam Asy-Syafi’i menyebutkan tentang sifat-sifat  seorang perawi sebagai berikut :
1.      Tsiqah dalam beragama
2.      Terkenal kejujurannya  dalam periwayatan hadisnya.
3.      Mengetahui dengan apa  yang diriwayatkannya
4.      Mengetahui seluk beluk makna hadis berdasarkan lapazhnya.
5.      Terkenal sebagai perawi hadis  bil lafzh.
6.      Hafal jika ia meriwayatkan  hadis dari hapalannya.
7.      Hafal dengan tulisannya jika ia meriwayatkan hadis dari catatan (tulisannya).
Selain itu, orang yang mengetahui dengan segala makna hadis dari segi lafaznya, ia boleh meriwayatkannya  dengan maknanya  saja apabila ia tidak dapat  mendatangkan  lafaznya  yang asli, karena ia menerima  hadis  itu dengan lafaz  dan maknanya. Namun ia tidak mampu  untuk menyampaikan salah satunya (lafazhnya ), maka boleh saja  ia meriwayatkan  hadis itu dengan maknanya  selama dapat menghindari kekeliruan (zalal) dan kesalahan (khatha’),  Sebab tidak menyampaikan  hadis dengan  maknanya  dinilai menyembunyikan hukum.[13]
Terjadinya periwayatan secara makna disebabkan beberapa faktor berikut:
a. Adanya hadis-hadis yang memang tidak mungkin diriwayatkan secara lafaz, karena tidak adanya redaksi langsung dari nabi Muhammad SAW, seperti hadis fi’liyah, hadis taqririyah, hadis mauquf dan hadis maqthu’. Periwayatan hadis-hadis tersebut adalah secara makna dengan menggunakan redaksi perawi sendiri.
b. Adanya larangan nabi untuk menuliskan selain Alquran. Larangan ini membuat sahabat harus menghilangkan tulisan-tulisan hadis. Di samping larangan, ada pemberitahuan dari nabi tentang kebolehan menulis hadis.
c. Sifat dasar manusia yang pelupa dan senang kepada kemudahan, menyampaikan   sesuatu yang dipahami lebih mudah dari pada mengingat susunan kata-katanya.[14]


BAB III
PENUTUP

Dari Pembahasan di atas dapat disimpulkan:
1. Kata riwayat adalah masdar dari kata kerja rawa yang berarti naql dan zikir. Artinya adalah penukilan dan penyebutan. Dalam istilah ilmu hadis, riwayat adalah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis.
2. Perawi hadis adalah orang yang menerima hadis dari guru dan kemudian menyampaikan atau mengajarkannya kepada orang lain (murid). Dengan demikian ada dua fungsi perawi, yaitu menerima dan menyampaikan.
3. Beberapa point penting yang harus ada dalam periwayatan hadis adalah sebagai berikut:
a.       Orang yang melakukan periwayatan hadis yang kemudian dikenal dengan   rawi(periwayat)
b.      Apa yang diriwayatkan
c.       Susunan rangkaian para periwayat (sanad/isnad)
d.      Kalimat yang disebutkan sesudah sanad yang kemudian dikenal denganmatan, dan
e.       Kegiatan yang berkenaan dengan proses penerimaan dan penyampaian hadis (at-tahamul wa ada al-hadis).
4. Periwayatan lafzhi adalah periwayatan hadis yang redaksinya atau matannya persis seperti yang diwurudkan Rasul saw, ini hanya bias dilakukan apabila mereka hafal benar apa yang disabdakan Rasul saw.
5. Periwayatan maknawi artinya periwayatan hadis yang matannya tidak persis sama dengan yang didengarnya dari Rasul saw, akan tetapi isi atau maknanya tetap terjaga secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasul saw, tanpa ada perubahan sedikitpun.


DAFTAR PUSTAKA

Afrinaldi Yunas. Periwayatan Hadis secara Lafaz dan Makna, (Online),      (http://afrinaldi.blogspot.com, diakses 5 Oktober 2012).
‘Ajjaj, Muhammad. 1989. Ushul al Hadis. Dar al-Fikr.
Anshary, A. Hafiz. 2000. Periwayatan Hadis dengan Lafal dan Makna.
Ismail, Syuhudi. 1988. Kaedah Kesahihan Sanad Hadis. Jakarta: Bulan Bintang.
Ma’luf, Luwis. 1973. Al-Munjid fi al-Lughah. Beirut: Dar al-Masyriq.
Munawwir, AW. 1997. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap.Surabaya: Pustaka  Progresif.
Narto Sabdo. Periwayatan Hadis, (Online), (http://nartosabdo.blogspot.com, diakses 5 Oktober 2012.
Noorhidayati, Salamah. Diktat Ulumul Hadis.
Ritonga, A.Rahman. Studi Ilmu-ilmu Hadis. Yogyakarta: Interpena.
Suparta, Munzier. 2010. Ilmu Hadis. Jakarta: Rajawali Pers.
Yuslem, Nawir. 2001. Ulumul Hadis. Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya.




[1] A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h.551
[2] M.Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, (Jakarta:Bulan Bintang), hlm.23.
[3] Luwis Ma’luf, al-Munjid  fi al-Lughah, (Beirut:Dar  al-Masyriq,1973), hlm.289
[4] A.Rahman Ritonga, Studi Ilmu-Ilmu Hadis, (Yokyakarta:Interpena, 2011), hlm.178.
[5] Ibid., hlm. 85.
[6] Al-ramaharmuzi, Al-Muhaddits Al-Fashil Baina Al-Rawi wa Al-Wa’i “(Beirut: Dar Al-Fikr, 1984), hlm. 127.
[7] Salamah Noorhidayati, Diktat Ulumul Hadits, hlm. 27.
[8] Ibid
[9] Ajjaj Al-Khattib, op. cit., hlm. 130. Lihat juga Al-Khattib Al-Baghdadi, Al-Jami’ li Akhlaq Al-Rawi wa Adabi Al-Sami’, (Kairo: Dar Al-Kutub Al-Maishriyah,t.t,) hlm.106.

[10] M.Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), hlm. 70.

[11] Ibid., hlm.71: Bandingkan Al-Ramahirmuzi, Al-Muhaddits al-Fashil bayn al-Rawi wa al-Wa’i, Ed. M. ‘Ajjaj al-Khathib (Beirut: Dar al-Fikr, 1404 H/1984 M), hlm. 530-531; Ibn al-Shalah, ‘Ulum al-Hadits; h. 187-192; ‘Ajjaj al-Khathib, Al-Sunnah, hlm. 132-135.
[12] A. Hafiz Anshary AZ, Periwayatan Hadis dengan Lafal dan Makna, dalam Khazanah Nomor 54  Oktober Desember  2000, IAIN Antasari, 2000 hlm. 95

[13] Muhammad ‘Ajjaj al Khatib, Ushul al Hadis, Dar al-Fikr, 1989. hlm. 252
[14] A.Rahman Ritonga, Op Cit, hlm.181











PERADABAN ISLAM SAFAWI DI PERSIA

Diajukan untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah “Sejarah Peradaban Islam”
Dosen Pembimbing: Dra, Marzuqoh, MA

D
I
S
U
S
U
N
OLEH:
FIKRI IHSAN
1113034000189
JURUSAN TAFSIR HADIS I-E
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA

2013


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji bagi Allah, yang Maha Agung lagi Maha Mulia. Sholawat serta salam atas sang baginda rasul, Nabiyyuna Muhammad SAW, keluarga, para sahabat, Tabi’in, Tabi’ittabi’in, serta mereka yang berpedoman dengan hidayah-Nya.
Makalah yang berjudul “PERADABAN ISLAM SAFAWI DI PERSIA” ini disusun guna untuk memenuhi tugas makalah pada kuliah “Sejarah Peradaban Islam”, yang di bombing oleh Ibu dosen Dra, Marzuqoh, MA
Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu dosen mata kuliah ini yang telah membimbing kami, menemani kami, dan memberi pengarahan kepada kami.
Pemakalah juga menyadari bahwa mungkin dalam penulisan, penyajian makalah ini sungguh jauh dari kesempurnaan baik dalam segi isi dan sebagainya, untuk itu dengan segala kerendahan hati pemakalah meminta maaf yang sebesar-besarnya, inilah yang pemakalah bisa sajikan kepada rekan-rekan semua, pemakalah juga mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun supaya pada makalah yang akan dating, kami bisa lebih lagi.
Semoga Allah memberikan kemanfaatan akan Makalah ini, khususnya bagi penulis dan bagi pembaca umumnya. Aamiin…!


 
Ciputat, 16 Desember 2013


                                                                                                                 Pemakalah

DAFTAR ISI
                                   

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………i
DAFTAR ISI………………………………………………………………………….ii
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………….1
BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………..2
A.    Latar Belakang Berdirinya Kerajaan Safawi………………………………….2
B.     Masa Kejayaan Kerajaan Safawi……………………………………………...6
C.     Peradaban-Peradaban Yang Berkembang……………………………………..6
D.    Factor-factor runtuhnya kerajaan Safawi……………………..........................10
­BAB III PENUTUP…………………………………………………………………..13 KESIMPULAN………………………………………………………………………13   
DAFTAR KEPUSTAKAAN………………………………………………………...13  



BAB I
PENDAHULUAN

Setelah khalifah Abbasiyah di Bagdad runtuh akibat serangan tentara Mongol,[[1]] kekuatan politik Islam mengalami kemunduran secara drastis. Wilayah kekuasaannya tercabik-cabik dalam beberapa kerajaan kecil yang satu sama lain bahkan saling memerangi. Beberapa peninggalan budaya dan peradaban Islam banyak yang hancur akibat serangan bangsa Mongol itu. Namun, kemalangan tidak berhenti sampai disitu. Timur Lenk, pemimpin bangsa mongol saat itu, juga menghancurkan pusat-pusat kekuasaan Islam yang lain.
Keadaan politik umat islam secara keseluruhan baru mengalami kemajuan kembali setelah dan berkembangnya tiga kerajaan besar : Usmani di Turki, Mughal di India, dan Safawi di Persia.  Dimasa tiga kerjaan besar ini kejayaan masing-masing terutama dalam bentuk literatur dan arsitek. Masjid-masjid yang didirikan kerajaan ini  masih dapat diihat di Istambul, Tibriz dan Isfaham serta kota-kota lain di Iran dan Delhi. Kemajuan umat islam di zaman ini lebih banyak merupakan warisan kemajuan pada masa priode klasik. Perhatian di ilmu pengetahuan masih kurang. Tentu saja bila dibandingkan kemjuan yang dicapai pada masa dinasti Abbsyiah, khususnya di bidang ilmu pengetahuan. Namun, menarik untuk dikaji, karena kemajuan pada masa ini terwujud setelah dunia islam mengalami kemunduran beberapa abad lamanya.[[2]]
Ada dua aspek menarik dari pengkajian sejarah kerajaan Safawi pada 1501-1722 M. Pertama lahir kembali dinasti Safawi adalah kebangkitan kembali kejayaan Islam, sebelumnya pernah mengalami masa kecemerlangan. Kedua, dinasti Safawi telah memberikan Iran semacam “Negara Nasional” dengan identitas baru yaitu aliran Syiah yang menurut G.H. Jansen merupakan landasan bagi perkembangan Nasionalisme Iran modern.

BAB II
PEMBAHASAN
A.   Latar Belakang Berdirinya Kerajaan Safawi
Awalnya kerajaan ini berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berdiri di Ardabila, sebuah kota di Azerbaijan, Tarekat ini diberi nama Tarekat Safawiyah,[[3]] yang diambil dari nama pendirinya Safi Al-din (1252-1334 M), dan nama itu terus dipertahankankan sampai tarekat ini menjadi gerakan politik. Bahkan, nama itu terus dilestarikan setelah gerakan ini berhasil mendirikan Kerajaan.[[4]] Menurut Harun Nasution, di Persia muncul suatu dinasti yang kemudian merupakan suatu kerajaan besar di dunia Islam. Dinasti ini berasal dari seorang sufi bernama Syekh Ishak Safiuddin dari Ardabila di Azerbaijan.[[5]]
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa penggagas awal berdirinya Kerajaan Safawi adalah Syekh Ishak Safiuddin dari Ardabila di Azerbaijan atau dikenal dengan Safi Al-Din, yang semula hanya sebagai mursyid tarekatdengan tugas dakwah agar umat Islam secara murni berpegang teguh pada ajaran agama. Namun pada tahun selanjutnya setelah memperoleh banyak pengikut fanatik akhirnya aliran tarekat ini berubah menjadi gerakan politik dan diteruskan mendirikan sebuah kerajaan. Perkembangan peradaban Islam di Persia dimulai sejak berdirinya kerajaan Safawi, yang dipelopori oleh Safi Al-Din sejak tahun 1252 hingga 1334 M. Kerajaan ini berdiri di saat Kerajaan Turki Usmani mencapai puncak kejayaannya.[[6]]
SILSILAH RAJA-RAJA KERAJAAN SAFAWI
1.      Safi Al-Din (1252-1334 M)                               
2.      Sadar Al-Din Musa (1334-1399 M)
3.      Khawaja Ali (1399-1427 M)
4.      Ibrahim (1427-1447 M)
5.      Juneid 1447-1460 M)
6.      Haidar 1460-1494 M)
7.      Ali (1494-1501 M)         
8.      Ismail (1501-1524 M)
9.      Tahmasp I (1524-1576 M)
10.  Ismail II (1576-1577 M)       
11.  Muhammad Khudabanda (1577-1787 M)
12.  Abbas I (1588-1628 M)
13.  Safi Mirza (1628-1642 M)
14.  Abbas II (1642-1667 M)
15.  Sulaiman (1667-1694 M)
16.  Husen (1694-1722 M)
17.  Tahmasp II (1722-1732 M)
18.  Abbas III (1732-1736 M) 
Safi Al-Din berasal dari keturunan yang berada namun  ia memilih sufi sebagai jalan hidupnya. Ia keturunan dari Imam Syi’ah yang keenam, Musa Al-Kazhim. Gurunya bernama Syaikh Taj Al-Din Ibrahim Zahidi (1216-1301)[[7]] yang dikenal dengan julukan Zahid Al-Gilani, karena prestasi dan ketekunannya dalam kehidupan tasawuf, Safi Al-Din dijadikan menantu oleh gurunya tersebut.[[8]] Safi Al-Din mendirikan tarekat Safawiyah setelah ia menggantikan guru sekaligus mertuanya yang wafat tahun 1301 M, pengikut tarekat ini sangat teguh memegang ajaran agama. Pada mulanya gerakan tasawuf Safawiyah ini bertujuan memerangi orang-orang ingkar dan golongan “ahli-ahli bid’ah”.[[9]] Namun pada perkembangannya, gerakan tasawuf yang bersifat lokal ini berubah menjadi gerakan keagamaan yang mempunyai pengaruh besar di Persia, Syria dan Anatolia. Di negeri-negeri yang berada di luar Ardabil inilah, Safi Al-Din menempatkan seorang wakil yang diberi nama Khalifah untuk memimpin murid-muridnya di daerah masing-masing.[[10]]
Suatu ajaran Agama yang dipegang secara fanatik biasanya kerapkali menimbulkan keinginan di kalangan ajaran itu untuk berkuasa. Oleh karena itu, lama kelamaan murid-murid tarekat Safawiyah berubah menjadi tentara yang teratur, fanatik dalam kepercayaan dan menentang setiap orang yang bermazhab selain Syi’ah[[11]].
Dalam dekade 1447 – 1501 M Safawi memasuki tahap gerakan politik, sama halnya dengan gerakan sanusiyah di Afrika Utara, Mahdiyah di Sudan dan Maturdiyah serta Naksyabandiyah di Rusia. Kecenderungan memasuki dunia politik secara konkrit tampak pada masa kepemimpinan Juneid (1447-1460 M). Dinasti safawi memperluas gerakannya dengan menambahkan kegiatan politik pada kegiatan keagamaan. Perluasaan kegiatan ini ternyata menimbulkan konflik antara Juneid dengan kekuatan politik yang ada di Persia waktu itu, misalnya konflik politik dengan kerajaan-kerajaan Kara Koyunlu (domba hitam) salah satu suku bangsa Turki  yang berkuasa di wilayah itu yang bermahzhab Sunni di bawah kekuasaan Imperium Usmani. Karena konflik tersebut maka ia mengalami kekalahan dan diasingkan ke suatu tempat. Di tempat baru ini ia mendapat perlindungan dari penguasa Diyar Bakr, AK. Koyunlu (domba putih), juga suatu suku bangsa Turki. Ia tinggal di istana Uzun Hasan, yang ketika itu menguasai sebagian Persia.[[12]]
Selama dalam pengasingan, Juneid tidak tinggal diam. Ia malah menghimpun kekuatan untuk kemudian beraliansi secara politik denagn Uzun Hasan. Ia juga berhasil mempersunting salah seorang saudara perempuan Uzun Hasan. Pada tahu  1459 M, Juneid mencoba merebut Ardabil tetapi gagal. Pada tahun 1460 M, ia mencoba merebut Circassia tetepi pasukan yang dipimpinnya dihadang oleh tentara Sirwan. Ia sendiri terbunuh dalam pertempuran tersebut. Keteika itu anak Juneid, Haidar, masih kecil dan dalam asuhan Uzun Hasan. Karena itu, kepemimpinan gerakan Safawi baru bisa diserahkan kepadanya secara resmi pada tahun 1470 M. Hubungan Haidar dengan Uzun Hasan semakin erat setelah Haidar mengawini salh seorang putri Uzun Hasan. Dari perkawinan itu lahirlah Ismail, yang di kemudian hari menjadi pendiri Kerajaan Safawi di Persia.[[13]]
Kemenangan AK-Koyunlu terhadap Kara Koyunlu tahun 1476 M, membuat gerakan militer Safawi yang dipimpin oleh Haidar dipandang sebagai rival politik oleh AK-Koyunlu dalam meraih kekuasaan yang selanjutnya. Padahal sebelumnya Safawi adalah sekutu AK Konyulu, tetapi itulah politik. Ak Konyulu berusaha melenyapkan kekuatan militer dan kekuasaan Dinasti Safawi. Karena itu, ketika Safawi menyerang wilayah Sircassia dan pasukan Sirwan, AK Konyulu mengirim bantuan militer kepada Sirwan, sehingga pasukan Haidar kalah dan Haidar sendiri terbunuh dalam peperangan itu.[[14]]
Ali, putra dan pengganti Haidar, didesak oleh bala tentranya untuk menuntut balas atas kematian ayahnya, terutama terhadap AK Konyulu. Tetapi Ya’kub pemimpin AK Konyulu ketika itu dapat menangkap dan memenjarakan Ali bersama kedua saudaranya Ibrahim dan Ismail beserta ibunya, di fars selama empat setengah tahun (1489-1493 M). Mereka dibebaskan oleh Rustam, Putra Mahkota AK Konyulu, dengan syarat mau membantunya memerangi saudara sepupunya. setelah saudara sepupu Rustam itu dapat dikalahkan. Ali bersaudara (Ibrahim dan Ismail) beserta ibunya kembali ke Ardabil. Akan tetapi tidak lama kemudian Rustam berbalik memusuhi dan menyerang Ali bersaudara pada tahun 1494 M dan Ali terbunuh dalam serangan ini.[[15]]
Kepemimpinan gerakan Safawi selanjutnya berada di tangan Ismail, yang saat itu masih berusia 7 tahun. Selama 5 tahun Ismail beserta pasukannya bermarkas di Gilan, mempersiapkan kekuatan dan mengadakan hubungan dengan para pengikutnya di Azerbaijan, Syria, Anatolia. Pasukan yang dipersiapkan itu dinamai Qizilbash (baret merah). Ismail memanfaatkan kedudukannya sebagai mursyid untuk mengkonsolidasikan kekuatan politiknya dengan menjalin hubungan dengan para pengikutnya.[[16]]
Di bawah pimpinan Ismail, pada tahun 1501 M, pasukan Qizilbash menyerang dan mengalahkan AK Konyulu di Sharur dekat Nakhchivan. Pasukan ini terus berusaha memasuki dan menaklukkan Tabriz, ibu kota AK Konyulu dan berhasil merebut serta mendudukinya. Di kota inilah Ismail memproklamirkan dirinya sebagai Raja pertama Dinasti Safawi. Ia disebut juga sebagai Ismail I.[[17]] dengan ia sendiri sebagai Syaikhnya yang pertama dan menetapkan Syi’ah Dua Belas sebagai agama resmi kerajaan Safawi. Dengan diproklamasikannya kerajaan Safawi sebagai kerajaan dan ditetapkan pula Syi’ah sebagai agama kerajaan maka merdekalah Persia dari pengaruh dari kerajaan Usmani dan kekuatan asing lainnya. Peristiwa inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya Kerajaan Safawi yang akan turut memberikan kontribusi dalam perkembangan kekuasaan Islam.
B.       Masa Kejayaan Kerajaan Safawi
Kondisi kerajaan Safawi yang memprihatinkan itu baru bias diatasi setelah raja Safawi kelima, Abbas I naik tahta (1588-1628 M). Langkah-langkah yang ditempuh oleh Abbas I dalam rangka memulihkan kerajaan Safawi adalah:
1.      Berusaha menghilangkan dominasi pasukan Qizilbash dengan cara membentuk pasukan baru yang berasal dari budak-budak dan tawanan perang bangsa Georgia, Armenia dan Sircassia.
2.      Mengadakan perjanjian damai dengan Turki Usmani dengan jalan menyerahkan wilayah Azerbaijan, Georgia, dan disamping itu Abbas berjanji tidak akan menghina tiga Khalifah pertama dalam Islam (Abu Bakar, Umar dan Usman) dalam khutbah-khutbah jum’at sebagai jaminan atas syarat itu, Abbas menyerahkan saudara sepupunya Haidar Mirza sebagai sandera di Istambul (Borckelman, 1974:503).
Masa kekuasaan Abbas I merupakan puncak kejayaan kerajaan Safawi. Ia berhasil mengatasi gejolak politik dalam negeri yang mengganggu stabilitas Negara dan sekaligus berhasil merebut kembali beberapa wilayah kekuasaan yang pernah direbut oleh kerajaan lain seperti Tabriz, Sirwan dan sebagainya yang sebelumnya lepas direbut oleh kerajaan.
C.   Kemajuan Peradaban Islam pada Masa Kerajaan Safawi di Persia
Pada masa pemerintahan Ismail, Safawi berhasil  mengembangkan wilayah kekuasaannya sampai ke daerah Nazandaran, Gurgan, Yazd, Diyar Bakr, Baghdad, Sirwan dan Khurasan hingga meliputi ke daerah bulan sabit subur (fortile crescent). Kemudian ia beruasaha mengembangkan wilayahnya sampai ke Turki Usmani tetapi mengadap kekuatan besar dari Kerajaan Turki Usmani tetapi menghadapi kekuaatan besar dari kerajaan Turki Usmani yang sangat membenci golongan Syi’ah. Dalam perebutan wilayah ini Safawi mengalami kekalahan yang menyebabkan Ismail mengalami depresi yang meruntuhkan kebanggaan dan rasa percaya dirinya sehingga ia menempuh kehidupan dengan cara menyepi dan hidup hura-hura. Hal ini berpengaruh pada stabilitas politik dalam kerajaan Safawi. Contohnya adalah terjadinya perebutan kekuasaan antara pimpinan suku-suku Turki, Pejabat-pejabat keturunan Persia dan Qizilbash.[[18]]
Keadaan ini baru dapat diatasi pada masa pemerintahan raja Abbas I. Langkah-langkah yang ditempuh  oleh Abbas I untuk memperbaiki situasi adalah :
1.    Menghilang dominasi pasukan Qizilbash atas kerajaan Safawi dengan membentuk pasukan baru yang beranggotakan budak-budak yang berasal dari tawanan perang bangsa Georgia, Armenia dan Sircassia.
2.    Mengadakan perjanjian damai dengan Turki Usmani dengan cara Abbas I berjanji tidak akan menghina tiga khalifah pertama dalam Islam (Abu Bakar, Umar, Usman) dalam khotbah Jumatnya[[19]].
Usaha-usaha tersebut terbukti membawa hasil yang baik dan membuat kerajaan Safawi kembali kuat. Kemudian Abbas I meluaskan wilayahnya dengan merebut kembali daerah yang telah lepas dari Safawi maupun mencari daerah baru. Abbas I berhasil menguasai Herat (1598 M), Marw dan Balkh. Kemudian Abbas I mulai menyerang kerajaan Turki Usmani dan berhasil menguasai Tabriz, Sirwani, Ganja, Baghdad, Nakhchivan, Erivan dan Tiflis. Kemudian pada 1622 M Abbas I berhasil menguasai kepulauan Hurmuz dan mengubah pelabuhan Gumrun menjadi pelabuhan Bandar Abbas[[20]].
Pada masa Abbas I inilah kerajaan Safawi mengalami masa kejayaan yang gemilang. Diantara bentuk kejayaannya adalah :
1.    Bidang Politik dan Pemerintahan
Pengertian kemajuan dibidang politik disini adalah terwujudnya integritas wilayah Negara yang luas yang dikawal oleh suatu angkatan bersenjata yang tangguh dan diatur oleh suatu pemerintahan yang kuat, serta mampu memainkan peranan dalam percaturan politik internasional.
Sebagaimana lazimnya kekuatan politik suatu Negara ditentukan oleh kekuatan angkatan bersenjata, Syah Abbas I juga telah melakukan langkah politiknya yang pertama, membangun angkatan bersenjata dinasti Safawi yang kuat, besar dan modern. Tentara Qizilbash yang pernah menjadi tulang punggung Dinasti Safawi pada awalnya dipandang Syah Abbas tidak diharapkan lagi, sehingga ia membangun  suatu angkatan bersenjata reguler. Inti satuan militer ini ia ambil dari bekas tawanan perang bekas orang-orang Kristern di Georia dan di Chircassia. Mereka dibina dengan pendidikan militer yang militan dan persenjataan yang modern. Sebagai pimpinannya ia mengangkat Allahwardi Khan, salah seorang dari Ghulam.[[21]]
Berkat kegigihannya Syah Abbas mampu mengatasi kemelut di dalam negeri yang mengganggu stabilitas negara dan berhasil merebut wilayah-wilayah yang pernah disebut oleh kerajaan lain pada masa sebelumnya.
2.    Bidang Ekonomi
Kerajaan Safawi pada masa Syah Abbas mengalami kemajuan dibidang ekonomi, terutama industri dan perdagangan. Stabilitas politik Kerajaan Safawi pada masa Abbas I ternyata telah memacu perkembangan perekonomian Safawi, lebih-lebih setelah kepulauan Hurmuz dikuasai dan pelabuhan Gumrun diubah menjadi Bandar Abbas. Hal ini dikarenakan Bandar ini merupakan salah satu jalur dagang antar Timur dan Barat. Yang biasa diperebut oleh Belanda, Inggris, dan Perancis, sesungguhnya menjadi milik Kerajaan Safawi.[[22]] Selain itu Safawi juga mengalami kemajuan sektor pertanian terutama di daerah Bulan Sabit Subur (fortile crescent).
3.    Bidang Ilmu Pengetahuan, Filsafat dan Sains
Dalam sejarah Islam, bangsa Persia dikenal sebagai bangsa yang peradaban tinggi dan berjasa dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila pada masa Kerajaan Safawi tradisi keilmuan ini terus berlanjut.
Ada beberapa ilmuwan yang selalu hadir di majlis istana yaitu Baha Al-Din Al-Syaerazi (generalis iptek), Sadar Al-Din Al-Syaerazi (filosof), dan Muhammad Baqir bin Muhammad Damad (teolog, filosof, observatory kehidupan lebah-lebah).[[23]] Dalam bidang ilmu pengetahuan, Safawi lebih mengalami kemajuan dari pada kerajaan Mughal dan Turki Usmani.[[24]] Pada masa Safawi Filsafat dan Sains bangkit kembali di dunia Islam, khususnya dikalangan orang-orang persia yang berminat tinggi pada perkembangan kebudayaan. Perkembangan baru ini erat kaitannya dengan aliran Syiah yang ditetapkan Dinasti Safawi sebagai agama resmi Negara.
Dalam Syiah Dua Belas ada dua golongan, yakni Akhbari dan Ushui. Mereka berbeda didalam memahami ajaran agama. Yang pertama cenderung berpegang kepada hasil ijtihad para mujtahid Syiah yang sudah mapan. Sedang kedua mengambil dari sumber ajaran Islam, Al-Qur’an dan Hadits, tanpa terikat kepada para mujthadi. Golongan Ushuli inilah yang palling berperan pada masa Safawi.
Menurut Hodhson, ada dua aliran filsafat yang berkembang pada masa Safawi tersebut. Pertama, aliran filsafat “Perifatetik” sebagaimana yang dikemukakan oleh Aristoteles dan Al-Farabi. Kedua filsafat Isyraqi yang dibawa oleh Syaharawadi pada abad ke XII. Kedua aliran ini banyak dikembangkan di perguruan Isfahan dan Syiraj. Di bidang filosof ini muncul beberapa orang filosof diantaranya Muhammad Baqir Damad (W. 1631 M) yang dianggap guru ketiga sesudah Aristoteles dan Al-Farabi, tokoh lainnya misalnya Mulla Shadra yang menurut sejartah ia adalah seorang dialektikus yang paling cakap di zamannya[[25]].
4.    Bidang Perkembangan Fisik dan Seni
Para penguasa kerajaan menjadikan Isfahan menjadi kota Kerajaan yang sangat indah. Disana terdapat bangunan-bangunan besar dan indah seperti masjid, rumah sakit, jembatan raksasa di atas Zende Rud dan Istana Chilil Sutun. Kota Isfahan juga diperindah dengan taman-taman wisata yang ditata secra apik. Ketika Abbas I wafat di Isfahan terdapat 162 Masjid, 48 Akademi, 1802 penginapan dan 273 pemandian umum.[[26]]
Di bidang seni, kemajuan nampak begitu kentara dalam gaya arsitektur bangunan-bangunannyaseperti terlihat pada mesjid Shah yang dibangun tahun 1611 M dan mesjid Syaikh Lutf Allah yang dibangun tahun 1603 M. Unsur seni lainnya terlihat pula adanya peninggalan berbentuk kerajinan tangan, keramik, karpet, permadani, pakaian dan tenunan, mode, tembikar, dan benda seni lainnya. Seni lukis mulai dirintis sejak zaman Raja Tahmasp I.[[27]]
Demikianlah puncak kemajuan yang dicapai oleh Kerajaan Safawi, kemajuan yang dicapainya membuat kerajaan ini menjadi salah satu dari tiga kerajaan besar Islam yang disegani oleh lawan-lawannya, terutama dalam bidang politik dan militer. Kerajaan ini telah memberikan kontribusinya mengisi peradaban Islam melalui kemajuan-kemajuan dalam bidang ekonomi, ilmu pengetahuan, peninggalan seni dan gedung-gedung bersejarah.
D.   Masa Kemunduran dan Kehancuran Kerajaan Safawi
No
Nama Raja
Masa Berkuasa
Indikasi Kemunduran dan Kehancuran
1
Safi Mirza
1628-1642 
-    Jiwa lidershipnya lemah.
-    Sangat kejam terhadap para pembesar Kerajaan.
-    Memiliki sifat cemburu terhadap petinggi kerajaan.
-    Kota Qandahar lepas dan diduduki Kerajaan Mughal (Sultan Syah Jehan).
-    Dan Bagdad direbut oleh Kerajaan Turki Usmani.
2
Abbas II
1642-1667 M
-   Sifat dan Moralnya jelek.
-   Pemabuk/suka minum minuman keras.
3
Sulaiman
1667-1694 
-  Kejam terhadap para pembesar Kerajaan, terutama terhadap orang-orang yang dicurigainya
-   Karena sifat & moralnya yang buruk itu rakyat bersikap masa bodoh terhadap pemerintahannya
4
Husen
1694-1722 M
-   Memberi kekuasaan yang besar kepada para ‘ulama Syi’ah.
-   Ulama Syi’ah sering slah guna kewenangan/kekuasaan yang diberikan raja.
-   Ulama Syi’ah sering memaksakan pendapat terhadap penganut aliran Sunni sehingga membuat golongan Sunni marah.
-   Konflik yang terjadi antara golongan Syi’ah dengan Sunni berimplikasi pada sistem pemerintahan menjadi tidak stabil secara berkelanjutan.
-   Pernah terjadi pemberontakan bangsa Afghan yang di pimpin oleh Mir Vays yang kemudian digantikan oleh Mir Mahmud. Pada masa pemberontakan Mir mahmud ini, kota Qandahar lepas dari safawi, kemudian disusul kota Isfahan. Pada 12 oktober 1722 M Shah Husein menyerah.
5
Tahmasp II
1722-1732 M
Dengan dukungan dari suku Qazar Rusia, ia memproklamirkan diri sebagai raja yang berkuasa atas Persia dengan pusat kekuasannya di Astarabad. Kemudian ia bekerja sama dengan Madhir Khan untuk memerangi bangsa Afghan yang menduduki kota Isfahan. Isfahan berhasil direbut dan Safawi kembali berdiri. Kemudian Tahmasp II dipecat oleh Nadir Khan pada 1732 M.
6
Abbas III
1732-1736 M
-   Tidak berpengalaman.
-   Diangkat menjadi Raja pada saat masih kecil.[[28]]
-   Pada 1736 M, Abbas III dilengserkan kemudian kerajaan Safawi diambil alih oleh Nadir Khan. Dengan begitu, maka berakhirlah kerajaan Safawi.

Hanya satu abad setelah ditinggal Abbas I, kerajaan ini mengalami kehancuran. Faktor-faktor yang menyebabkan berakhirnya kerajaan Safawi :
1.    Konflik panjang dengan kerajaan Turki Usmani. Hal ini disebabkan oleh perbedaan mazhab antar kedua kerajaan. Bagi Kerajaan Usmani, berdirinya Kerajaan Safawi yang beraliaran Syi’ah merupakan ancaman langsung terhadap wilayah kekuasaannya. Konflik antara kedua kerajaan tersebut berlangsung lama, meskipun konflik itu pernah berhenti sejenak ketika tercapai perdamaian antara keduanya pada masa Raja Shah Abbas I, namun tak lama kemudian Abbas meneruskan konflik tersebut, dan setelah itu dapat dikatakan tida ada lagi perdamaian antara kedua kerajaan besar Islam itu.[[29]]
2.    Adanya dekadensi moral yang melanda sebagaian para pemimpin Kerajaan Safawi.
3.    Pasukan Ghulam (budak-budak) yang dibentuk Abbas I tidak memiliki semangat perang yang tinggi seperti Qilzibash (baret merah) hal ini dikarenakan pasukan tersebut tidak disiapkan secara terlatih dan tidak melalui proses pendidikan rohani. Seperti yang di alami oleh pasukanQilzibash, sementara anggota pasukan Qilzibash yang baru tidak memiliki militansi dan semangat yag sam,a dengan anggota Qilzibashsebelumnya.
4.    Seringnya terjadi konflik intern dalam bentuk perebutan kekuasaan dikalangan keluarga istana[[30]].
Dengan demikian bentuk-bentuk institusi kenegaraan, kesukuan dan institusi keagamaan safawiyah yang diciptakan oleh Abbas I telah mengalami perubahan secara mencolok pada akhir abad tujuh belas dan awal abad ke delapan belas.
BAB III
PENUTUP
E.   Kesimpulan
Kerajaan Safawi berasal dari sebuah tarekat yang berdiri di Ardabil, tarekat tersebut bernama Safawi. Kerajaan Safawi berada dipuncak kejayaan pada masa kekuasaan Abbas I. Banyak kemajuan yang dicapai kerajaan Safawi antara lain dalam bidang politik, ekonomi, ilmu pengetahuan dan bidang pembangunan fisik dan seni. Akan tetapi setelah Abbas meninggal, kerajaan Safawi mengalami kemunduran, disebabkan raja yang memerintah sangat lemah, sering terjadinya konflik intern dalam perebutan kekuasaan dikalangan keluarga istana. Hanya dalam satu abad setelah ditinggalkan Abbas, Kerajaan Safawi hancur.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Ali, A. Mukti, dkk (Ed.), Ensiklopedi Islam, Jakarta : Departemen Agama RI, 1988.
Engneer, Asghar Ali, Asal-Usul dan Perkembangan Islam, Yogyakarta: Insist Bekerja Sama dengan Pustaka Pelajar, 1999.
Hamka, Sejarah Umat Islam III, Jakarta : Bulan Bintang, 1981.
Hassan, Hassan Ibrahim, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Yogyakarta : Kota Kembang, 1989. Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam :Sejarah, Pemikiran dan Gerakan,Jakarta : Bulan Bintang, 1992.
Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Amzah, 2009.
Supriyadi, Dedi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka setia, 2008.
Syalabi, Ahmad, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid 2, Jakarta : Pustaka Al-Husna, 1983.
Thohir, Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Jakarta : PT Raja Grafindo Ajid.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2010.





[1] Serangan Mongol tersebut telah menghancurkan kota-kota dengan bangunan yang indah, tempat-tempat belajar, perpustakaan yang mengoleksi banyak buku, dll milik umat Islam, semua hancur, musnah dibakar, bahkan umat Islampun dibunuh, pembunuhan terjadi tidak hanya pada petinggi/pembesar kerajaan, seperti terjadi pada masa kepemimpinan Hulagu, manusia tidak berdosapun juga ikut dibunuh oleh tentara Mongol, seperti dilakukan oleh Argun, Khan ke empat pada Dinasti II Khaniyah. (baca: Dedi supriyadi, Sejarah peradaban Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2008, hlm. 185.
[2] Harun Nasution, Perkembangan dalam Islam : Sejarah, Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta : Bulan Bintang, 1992) hal 14.
[3] Tarekat Safawiyah ini didirikan bersamaan dengan berdirinya kerajaan Usmani di Turki
[4] Badri Yatim, Sejarah Peradaban  Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000,hlm. 138
[5] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Bebagai Aspek, Jakarta: UI-Press, 1985, hlm. 84
[6] www.kodeka.blogspot
[7] Allouche, The Origins and Development of The Ottoman-Safavid Conflict, Michighan: University Microfilms International, 1985, hlm. 96. Baca juga. Badri Yatim, hlm. 138-139.
[8] Badri Yatim, op. cit., hlm. 139.
[9] Bid’ah yaitu segala sesuatu yang diada-adakan dalam agama tanpa ada dasar syari’atnya
[10] Hamka, Sejarah Umat Islam, Jilid III, Jakarta: bulan Bintang, 1981, hlm. 60
[11] Samsul Munir Amin, M.A., Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Amzah, 2009, hal 188.
[12] Ibid, hal. 188
[13] Carl Brockelmann, Tarikh As-Syu’ub Al-Islamiyah, Beirut: Dar Al-‘Ilm, 1974, hlm. 494-495.
[14] Badri Yatim.Loc.Cit.hal.140
[15] Holt P.M, dkk (ed.), The Cambridge History of Islam, vol.IA, London : Cambridge University Press, 1970, hlm. 397. Baca juga. Badri Yatim, hlm.141.
[16] Yaitu tentara kerajaan Safawi yang berasal dari suku-suku beraliran Syi’ah dari Anatolia bagian timur. Pada pasukan Qizilbash ini topinya dilengkapi dengan 12 rumbai yang memiliki makna Syi’ah, Isna ‘Asyariah (Dua Belas Imam) mempunyai pengaruh yang besar dalam menanamkan sifat fanatisme dan militansi para pengikut Syi’ah dengan pemimpinnya.

[17] Holt P.M, dkk (ed.), op.cit., hlm 398

[18] www.resotika.Blogspot.
[19] P.M.Holt,  dkk, (ed), The Cambridge History Of Islam.Vol.IA,(London : Cambridge University Press,  1970), hal.417
[20] Badri Yatim, op.clt., hal.143.
[21] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo) hal. 175
[22] Carl Broekelmaun, Tarikh Al-Syu’ub Al-Islamiyah, Beirut: Dar Al-‘Ilm, 1974, hlm. 504
[23] Ibid, hlm 505
[24] Ajid Thohir, hal. 177
[25] Ibid.

[26] Marshal G.S. Hodgson, The Venture of Islam, Vol. III, Chicago: The University of Chicago Press, 1981, hlm. 40.
[27] Ibid,
[28] Hamka, Sejarah Umat Islam, III, (Jakarta : Bulan Bintang, 1981). hal 71-73.

[29] M. Holt, dkk (ed). The Cambridge History of Islam, Vol. 1 A, London: Cambrige University Press, 1970, hlm 426.
[30] Badri Yatim,op.ctl.,hal 141-143

                                                                                                                               Writed by : Fikri Ihsan 
                                                                  Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadits Semester I.