Senin, 14 April 2014

‘URF DAN ADAT ISTIADAT SEBAGAI SUMBER HUKUM

Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah Ushul Fiqh
Dosen Pembimbing: Muhammad Zuhdi Zaini, M.Ag.


 DISUSUN
                                                                            OLEH
KELOMPOK IX
Fikri Ihsan                             (1113034000189)
Dini Asrianti                          (1113034000225)
Muhammad Abdul Fatah      (1113034000229)


Jurusan Tafsir Hadis Semester II/F
Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Jakarta 2014


KATA PENGANTAR

            Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah swt yang telah member rahmat dan hidayah-Nya serta akesehatan, keselamatan kepada kita semua, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik. Semata-mata hanya untuk menyempurnakan materi kuliah  USHUL FIQH, dalam bentuk makalah yang berjudul “’Urf dalam adat istiadat sebagai sumber hukum.
            Penulis berharap apa yang telah penulis tuliskan ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca umumnya. Tak lupa pula penulis ucapkan ribuan terima kasih kepada Bapak dosen yang telah memberikan ilmunya dan pengarahannya serta bantuannya kepada penulis dalam penyelesaian tugas ini.
            Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Untuk itu, saran dan kritik yang bersifat memperbaiki dari para pembaca sangat penulis harapkan.
            Atas segala perhatiannya penulis ucapkan terima kasih. Penulis berharap semoga penyajian makalah penulis ini dapat diterima bagi para pembaca. Semoga Allah swt senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Aamiin.


                                                                                                            Jakarta, April 2014


                                                                                                            Penulis



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………..i
DAFTAR ISI…………………………………………………………............ii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………1
1.      Latar Belakang……………………………………………………………….1
2.      Rumusan Masalah………………………………………………………….....2
3.      Tujuan Pembahasan………………………………………………………......2
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………......3
A.    Pengertian ‘Urf…………………………………………………………..........3
B.     Macam-macam ‘urf…………………………………………………………...4
1. Dari segi objeknya (materi yang biasa dilakukan)…………………………...4
2. Dari segi cakupannya (ruang lingkup penggunaannya)……………………….5
3. Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’ (penilaian baik dan buruk)…...6
C.     Kehujjahan ‘urf……………………………………………………….............9
BAB III PENUTUP………………………………………………………......9
KESIMPULAN……………………………………………………………....9
DAFTAR KEPUSTAKAAN………………………………………………...10


 BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Urf merupakan istilah Islam yang dimaknai sebagai adat kebiasaan. ‘Urf  terbagi menjadi ucapan atau perbuatan dilihat dari segi objeknya, menjadi Umum atau Khusus dari segi cakupannya, menjadi sah atau rusak dari segi keabsahan menurut syariat. Para ulama ushul fiqih bersepakat bahwa Adat (‘urf) yang sah ialah yang tidak bertentangan dengan syari'at.
Bangsa Arab sebelum dan sesudah kedatangan Islam cenderung memegang teguh praktek-praktek hidup, tradisi atau adat. Bagi mereka, hukum yang sudah berlaku dan diakui oleh masyarakat merupakan hukum yang sah dan harus diikuti. Konsep adat yang menjadi hukum ini sebenarnya hanyalah pada masalah politik saja, tapi tampaknya setelah meninggalnya Rasulullah SAW konsep adat atau tradisi ini berubah atau meluas pada hukum.
Maka tak heran, jikalau mereka sungguh kental dalam memegang kebiasaan yang sudah berlaku sejak zaman sebelum mereka. Orang Arab mempunyai kesetiaan kepada pemimpinnya lebih daripada kesetian orang-orang non-Arab kepada pemimpin mereka, selain itu orang Arab juga mempunyai suatu adat atau kebiasaan yang sungguh komplek dan berpengaruh satu sama lainnya.
Adat, kebiasaan di sini adalah berarti sama dengan sunnah sebelum Imam Syafi’i merumuskan Ushul Fikihnya. Imam Syafi’ilah yang kemudian memberi konotasi sunnah dengan praktek Nabi. Sunnah yang sudah mendapat konotasi baru inilah yang kemudian menjadi salah satu dasar peletakan Hukum Islam. Sedangkan sunnah penduduk Madinah, Penduduk Kufah dan Bashrah, yang pada masa sebelum Syafi’i sangat berperan besar bahkan menjadi salah satu dasar hukum, kemudian ditolak kecuali mempunyai dasar dari Alquran al-Karim ataupun Sunnah Nabi.
Jika menilik sejarah, ‘urf ini menjadi sangat berperan dalam pembentukan Hukum Islam. Hal ini tampaknya berangkat dari anggapan bahwa sunnah mereka adalah sunnah yang terpelihara dan paling dekat dengan Sunnah Nabi. Selain itu ternyata ada beberapa persoalan-persoalan hukum yang tidak dengan rinci diatur dalam Alquran al-Karim ataupun sudah ada dalam praktek atau keputusan Nabi Muhammad SAW.
Dalam menemukan hukum dan menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat, maka Alquran al-Karim dan Sunnah Nabi perlu dijelaskan dan diambil intisarinya hingga dapat dipahami apakah suatu kebiasaan dalam masyarakat bisa menjadi hukum apabila tidak bertentangan dengan Alquran al-Karim dan Sunnah Nabi. Salah satu kajian ushul fiqh yang fokus terhadapa permasalahan tersebut adalah masalah ‘urf. Makalah ini akan menjelaskan defenisi ‘urf, macam-macamnya dan kehujjahannya sebagai dalil hukum.

2. Rumusan Masalah
a.  Pengertian ‘Urf
b. Macam-macam ‘Urf
·         Dari segi objeknya
·         Dari segi cakupannya
·         Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’
c. Kehujjahan ‘Urf
3. Tujuan Masalah
a. Dapat memahami pengertian ‘uruf, macam-macam dan kehujjahannya
b. Dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan para pembaca
  

BAB II
PEMBAHASAN
APengertian ‘Urf
            Secara lughat (bahasa/etimologi) kata Urf berasal dari kata ‘arafa, ya‘rufu sering diartikan dengan al-ma‘ruf (اَلْمَعْرُوفُ) dengan arti sesuatu yang dikenal, berarti “sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat”. Sedangkan arti ‘urf secara harfiah (istilah/terminologi) adalah suatu keadaan, ucapan, perbuatan atau ketentuan yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya. Dikalangan masyarakat, ‘urf ini sering disebut sebagai adat.
Sebagaimana kata ‘urf sering disamakan dengan kata adat, kata adat berasal dari bahasa Arab عَادَةٌ ; akar katanya: ‘ada, ya‘udu (عَادَ-يَعُوْدُ) mengandung arti perulangan. Adat menurut arti bahasa adalah cara (kelakuan dan sebagainya) yang sudah menjadi kebiasaan. Sedangkan adat istiadat adalah: tata kelakuan yang kekal dan turun-temurun dari generasi satu ke generasi lain sebagai warisan, sehingga kuat integrasinya dengan pola perilaku masyarakat. Oleh karena itu sesuatu yang baru jika dilakukan satu kali belum dinamakan adat. Kata ‘urf pengertiannya tidak melihat dari segi berulang kalinya suatu perbuatan dilakukannya, tetapi dari segi bahwa perbuatan tersebut sudah sama-sama dikenal dan diakui oleh orang banyak orang.
Begitu juga dengan kata‘urf seperti yang dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidah berarti : Sesuatu yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau perkataan.
Pengertian di atas, juga sama dengan menurut istilah ahli syara’. Di antara contoh ‘urf yang bersifat perbuatan adalah adanya saling pengertian di antara manusia tentang jual beli tanpa mengucapkan shigat. Sedangkan contoh ‘urf yang bersifat ucapan adalah adanya pengertian tentang kemutlakan lafal Al-walad atas anak laki-laki bukan perempuan, dan juga tentang meng-itlakkan al-lahm yang bermakna daging atas as-samak yang bermakna ikan tawar.
Dengan demikian, ‘urf itu mencakup sikap saling pengertian di antara manusia atas perbedaan tingkatan di antara mereka, baik keumumannnya atau pun kekhususannya, maka ‘urf berbeda dengan ijma’ karena ijma’ merupakan tradisi dari kesepakatan para mujtahidin secara khusus.
v  Landasan hukum ‘Urf
‘Urf tergolong salah satu sumber hukum dari ushul fiqih yang diambil dari intisari Al-Qur’an.
Éè{ uqøÿyèø9$# óßDù&ur Å$óãèø9$$Î/ óÚ̍ôãr&ur Ç`tã šúüÎ=Îg»pgø:$# ÇÊÒÒÈ  
"Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (Al-‘Urfi), serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh." (QS. Al-A’raf: 199)
Kata al-‘Urf dalam ayat tersebut, yang manusia disuruh mengerjakannya, oleh Ulama Ushul fiqih dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat. Berdasarkan itu maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat. Kata al-ma‘ruf artinya sesuatu yang diakui baik oleh hati. Ayat di atas tidak diragukan lagi bahwa seruan ini didasarkan pada pertimbangan kebiasaan yang baik pada umat, dan hal yang menurut kesepakatan mereka berguna bagi kemaslahatan mereka. Kata al-ma‘ruf ialah kata umum yang mencakup setiap hal yang diakui. Oleh karena itu kata al-ma‘ruf hanya disebutkan untuk hal yang sudah merupakan perjanjian umum sesama manusia, baik dalam soal mu‘amalah maupun adat istiadat.

B. Macam-macam ‘Urf
1. Ditinjau dari segi objeknya (materi yang biasa dilakukan)
Dari segi objeknya ‘Urf dibagi kepada : al-‘urf al-lafzhi (kebiasaan yang menyangkut ungkapan) dan al-‘urf al-amali (kebiasaan yang berbentuk perbuatan).
a. Al-‘Urf al-Lafzhi (‘Urf qauli) Adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal/ungkapan tertentu dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat. Misalnya dalam ungkapan kata lahm  artinya adalah “daging”. Daging yang dimaksud berarti daging sapi, padahal kata-kata “daging” mencakup seluruh daging yang ada. Apabila seseorang mendatangi penjual daging, sedangkan penjual daging itu memiliki bermacam-macam daging, lalu pembeli mengatakan “ saya beli daging 1 kg” pedagang itu langsung mengambil daging sapi, karena kebiasaan masyarakat setempat telah mengkhususkan penggunaan kata daging pada daging sapi. Kata lahm artinya adalah “daging”,baik daging sapi, ikan, atau hewan lainnya. Pengertian umum lahmun yang juga mencakup daging ikan ini terdapat dalam Al-Qur’an, surat An-Nahl :14
uqèdur Ï%©!$# t¤y tóst7ø9$# (#qè=à2ù'tGÏ9 çm÷ZÏB $VJóss9 $wƒÌsÛ (#qã_̍÷tGó¡n@ur çm÷YÏB ZpuŠù=Ïm $ygtRqÝ¡t6ù=s? ts?ur šù=àÿø9$# tÅz#uqtB ÏmŠÏù (#qäótFö7tFÏ9ur ÆÏB ¾Ï&Î#ôÒsù öNà6¯=yès9ur šcrãä3ô±s? ÇÊÍÈ  
dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur.
Namun dalam adat kebiasaan berbahasa sehari-hari di kalangan orang Arab, kata lahmun itu tidak digunakan untuk “ikan”. Karena itu, jika seseorang bersumpah, “Demi Allah saya tidak memakan daging”, tetapi ternyata kemudian ia memakan daging ikan, maka menurut ‘adat masyarakat Arab, orang tersebut tidak melanggar sumpah.
b. Al-‘urf al-‘amali (‘Urf fi’li) Adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau mu’amalah keperdataan. Yang dimaksud “perbuatan biasa” adalah kebiasaan masyarakat dalam masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain, seperti kebiasaan libur kerja pada hari-hari tertentu dalam satu minggu, kebiasaan masyarakat memakan makanan khusus atau meminum minuman tertentu dan kebiasaan masyarakat dalam memakai pakaian tertentu dalam acara-acara khusus.
Adapun yang berkaitan dengan mu’amalah perdata adalah kebiasaan masyrakat dalam melakukan akad/transaksi dengan cara tertentu. Misalnya kebiasaan masyarakat dalam berjual beli bahwa barang-barang yang dibeli itu diantarkan kerumah pembeli oleh penjualnya, apabila barang yang dibeli itu berat dan besar, seperti lemari es dan peralatan rumah tangga lainnya, tanpa dibebani biaya tambahan.
2. Ditinjau dari segi cakupannya (ruang lingkup penggunaannya)
Dari segi cakupannya, ‘urf terbagi dua yaitu al-‘urf al-‘am (kebiasaan yang bersifat umum) dan al-‘urf al-khash (kebiasaan yang bersifat khusus).
a. Al-‘urf al-‘am adalah kebiasaan tertentu yang bersifat umum berlaku dimana-mana dan berlaku secara luas di seluruh masyarakat, diseluruh daerah, dan hamipir di seluruh penjuru dunia, tanpa memandang Negara, bangsa dan agama. Misalnya: (1) menganggukkan kepala tanda menyetujui dan menggelengkan kepala  tanda menolak atau menidakkan. Jika ada orang berbuat kebalikan dari itu, maka dianggap aneh atau ganjil. (2) di mana-mana bila memasuki pemandian umum (kolam renang) yang memungut bayaran, orang hanya membayar seharga tarif masuk yang ditentukan tanpa memperhitungkan berapa banyak air yang dipakainya dan berapa lama ia menggunakan pemandian tersebut. Begitu juga dalam jual beli mobil, seluruh alat yang diperlukan untuk memperbaiki mobil seperti kunci, tang, dongkrak, dan ban serep termasuk dalam harga jual, tanpa akad sendiri dan biaya tambahan. Contoh lain adalah kebiasaan yang berlaku bahwa berat barang bawaan bagi setiap penumpang pesawat terbang adalah duapuluh kilogram.
b. Al-‘urf al-khash adalah kebiasaan yang berlaku di wilayah dan masyarakat tertentu. Misalnya dikalangan para pedagang apabila terdapat cacat tertentu pada barang yang dibeli dapat dikembalikan dan untuk cacat lainnya dalam barang itu, konsumen tidak dapat mengembalikan barang tersebut. Atau juga kebiasaan mengenai penentuan masa garansi terhadap barang tertentu.

3. Ditinjau dari segi keabsahannya dari pandangan syara’ (penilaian baik dan buruk)
Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’, ‘urf terbagi dua;
a. Al-‘urf al-Shahih (yang sah) Adalah kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah masyarakat atau sesuatu yang telah saling dikenal manusia yang tidak bertentangan dengan nash atau dalil syara’ yaitu (ayat atau hadis) tidak menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa mudarat kepada mereka. Dengan kata lain, 'urf yang tidak mengubah ketentuan yang haram menjadi halal atau sebaliknya. tidak menghalalkan yang haram dan juga tidak mengharamkan yang halal (tidak membatalkan yang wajib). Misalnya, Seperti adanya saling pengertian di antara manusia tentang kontrak borongan, pembagian mas kawin (mahar) yang didahulkan dan diakhirkan. Begitu juga bahwa istri tidak boleh menyerahkan dirinya kepada suaminya sebelum ia menerima sebagian dari maharnya. Juga tentang sesuatu yang telah dberikan oleh pelamar (calon suami) kepada calon istri, berupa perhiasan, pakaian atau apa saja, dianggap sebagai hadiah dan bukan merupakan sebagian dari mahar.
b. Al-‘urf al-fasid (yang rusak) Adalah kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah masyarakat atau sesuatu yang telah saling dikenal manusia, dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara’, tetapi bertentangan dengan dalil-dalil syara’, menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal (membatalkan yang wajib). Seperti adanya saling pengertian di antara manusia tentang beberapa perbuatan munkar dalam ucapan kelahiran anak, juga tentang memakan barang riba dan kontrak judi. Misalnya, berjudi untuk merayakan suatu peristiwa, pesta dengan menghidangkan minuman haram, membunuh anak perempuan yang baru lahir, dan kumpul kebo (hidup bersama tanpa nikah) dan ini terjadi pada zaman jahiliyah. Begitu juga kebiasaan yang berlaku dikalangan pedagang dalam menghalalkan riba, seperti peminjaman uang antara sesama pedagang. Uang yang dipinjam sebesar sepuluh juta rupiah dalam tempo satu bulan, harus dibayar sebanyak sebelas juta rupiah apabila jatuh tempo, dengan perhitungan bunganya 10%. Dilihat dari segi keuntungan yang di raih peminjam, penambahan utang sebesar 10% tidaklah memberatakan, karena keuntungan yang diraih dari sepuluh juta rupiah tersebut mungkin melebihi bunganya yang 10%. Akan tetapi praktik seperti ini bukanlah kebiasaan yang bersifat tolong menolong dalam pandangan syara’, karena pertukaran barang sejenis, menurut syara’ tidak boleh saling melebihkan. dan praktik seperti ini adalah praktik peminjaman yang berlaku di zaman jahiliyah, yang dikenal dengan sebutan Riba al-nasi’ah (riba yang muncul dari hutang piutang). Oleh sebab itu, kebiasaan seperti ini, menurut Ulama Ushul fiqh termasuk dalam kategori al-‘urf al-fasid.
Para ulama sepakat, bahwa al-urf al-fasid ini tidak dapat menjadi landasan hukum, dan kebiasaan tersebut batal demi hukum.
1. Hukum ‘Urf                    
a. Hukum ‘Urf  Shahih dan Pandangan Para Ulama
Telah disepakati bahwa ;urf shahih itu harus dipelihara dalam pembentukan hukum dan pengadilan. Maka seorang mujtahid diharuskan untuk memeliharanya ketika ia menetapkan hukum. Begitu juga seorang Qodhi (hakim) harus memeliharanya ketika sedang mengadili. Sesuatu byang telah saling dikenal manusia meskipun tidak menjadi adat kebiasaan, tetapi telah disepakati dan dianggap mendatangkan kemaslahatan bagi manusia serta selama hal itu tidak bertentangan dengan syara’ harus dipelihara.
            Dan syari’ pun telah memelihara ‘urf bangsa arab yang shahih, dalam membentuk hukum, maka difardhukan lah diat (denda) atas perempuan yang berakal, disyaratkan kafa’ah (kesesuaian) dalam hal perkawinan, dan diperhitungkan pula adanya ‘ashabah (ahli waris yang bukan penerima bagian pasti dalam hal kematian dan pembagian harta pusaka).
Di antara para ulama ada yang berkata, “Adat adalah syaria’at yang dikukuhkan sebagai hukum”. Begitu juga ‘urf menurut syara’ mendapat pengakuan hukum. Imam malik mendsarkan sebagian besar hukumnya pada perbuatan penduduk madinah. Abu Hanifah bersama murid-muridnya berbeda pendapat dalam beberapa hukum dengan dasar atas perbuatan ‘urf mereka. Sedangkan Imam Syafi’i ketika sudah berada di Mesir, mengubah sebagian pendapatnya entang hukum yang telah dikeluarkannya ketika beliau berada di Baghdad. Hal ini karena perbedaan ‘urf, maka tak heran kalau beliau mempunyai dua mazhab, madzhab qadim (terdahulu/pertama) dan madzhab jadid (baru).
            Begitu pula dalam fiqh hanafiyah, banyak hukum-hukum yang berdasarkan atas ‘urf, di antaranya apanbila berselisih antara dua orang terdakwa dan tidak terdapat saksi bagi salah satunya, maka pendapat yang dibenarkan (dimenangkan) adalah pendapat orang yang disaksikan ‘urf. Apabila suami istri tidak sepakat atas mahar yang muqaddam (terdahulu) atau yang mu’akhar (terakhir) maka hukumnya adalah ‘urf. Barang siapa bersumpah tidak akan makan daging, kemudian ia makan ikan tawar, maka tidak berarti bahwa melanggar sumpahnya menurut dasar ‘urf.
            Pendapat yang dinukilkan itu adalah sah apabila telah menjadi ‘urf. Jadi, syarat sah akad itu apabila ketentuan tentang hal itu terdapat dalam syara’, atau apabila ditntut oleh akad atau apabila berjalan padanya ‘urf. Al-Marhum Ibnu Abidin telah menyusun risalah yang ia namakan “Menyebarkan ‘urf di antara hukum-hukum yag dibentuk berdasarkan ‘urf”. Di antara ungkapannya yang terkenal, “apa-apa yang dimengerti secara ‘urf adalah seperti yang diisyaratkan menurut syara’ dan apa-apa yang telah tetap menurut ‘urf adalah seperti yang telah ditetapkan menurut nash.
b. Hukum ‘urf fasid
            Adapun ‘urf yang rusak, tidak diharuskan untuk memeliharanya, karena memeliharanya itu berarti memantang dalil syara’ atau membatalkan dalil syara’. Apabila manusia telah saling mngerti akad-akad yang rusak, seperti akad riba atau akad gharar atau khatar (tipuan dan membahayakan), maka bagi ‘urf ini tidak mempunyai pengaruh dalam membahayakannya.
            Dalam undang-undang positif manusia, ‘urf yang bertentangan dengan undang-undang umum tidak diakui, tetapi dalam contoh akad ini bisa ditinjau dari segi lain, yaitu apakah akad tersebut dianggap darurat atau sesuai dengan hajat manusia? Artinya apabila akad tersebut membatalkan, maka berarti menipu peraturan kehidupan mereka atau mereka memperoleh kesulitan jika hal itu termasuk darurat atau kebutuhan mereka, akad itu diperbolehkan, karena dalam keadaan darurat dibolehkan melakukan hal-hal yang telah diharamkan, sedang hajat itu bisa menduduki tempat kedudukan darurat. Namun, jika tidak termasuk darurat atau kebutuhan mereka, maka dihukumi dengan baatalnya akad tersebut dan berdasarkan hal ini maka ;urf tidak diakui.
            Hukum-hukum yang didasarkan ‘urf itu dapat berubah menurut perubahan jaman dan perubahan asalnya. Karena itu, para Fuqaha berkata, “ perselisihan itu adalah perselisihan masa dan jaman, bukan perselisihan hujjah dan bukti”.
C. Kehujjahan ‘Urf
‘Urf menurut penyelidikan bukan merupakan dalil syara’ tersndiri. Pada umumnya ‘urf ditunjukkan untuk memelihara kemaslahatan umat serta menunjang pembentukan hukum dan penafsiran beberapa nash. Dengan ‘urf dikhususkan lafal yang “Amm (umum) dan dibatasi yang mutlak. Karena ‘urf pula terkadang qiyas itu ditinggalkan. Karena itu, sah mengadakan kontrak borongan apabila ‘urf sudah terbiasa dalam hal ini, sekalipun tidak sah menurut qiyas, karena kontrak tersebut adalah kontrak atas perkara yang ma’dum (tiada)      

BAB III
PENUTUP
v  KESIMPULAN
Dalam arti harfiyah‘Urf adalah suatu keadaan, ucapan, perbuatan atau ketentuan yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya.
Macam-macam‘urf terdiri dari tiga bagian,yaitu:
a. Ditinjau dari segi objeknya (materi yang biasa dilakukan)  ‘Urf dibagi kepada : al-‘urf al-lafzhi (kebiasaan yang menyangkut ungkapan) dan al-‘urf al-amali (kebiasaan yang berbentuk perbuatan).
b. Ditinjau dari segi cakupannya, (ruang lingkup penggunaannya) ‘urf terbagi dua yaitu al-‘urf al-‘am (kebiasaan yang bersifat umum) dan al-‘urf al-khash (kebiasaan yang bersifat   khusus).
c. Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’ (penilaian baik dan buruk), ‘urf terbagi dua yaitu Al-‘urf al-Shahih (yang sah) dan Al-‘urf al-fasid (yang rusak).

DAFTAR PUSTAKA

Syafe’i Rachmat, Prof. DR. M.A. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999 M
Syarifuddin Amir, Prof. DR. H. Ushul Fiqh Jilid II. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1999 M
Syekh Abdul Wahab Khallaf. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993 M









Manfaat Dan Bahaya Membaca Novel Romantis Bagi Wanita

By: Fikri Ihsan Mingka
Manfaat dan Bahaya Membaca Novel Romantis Bagi Wanita - Teringat sebuah kata-kata "membaca adalah pembuka ilmu", dan ini tidak kita pungkiri. Membaca buku merupakan hal yang paling mudah dilakukan untuk mencari ilmu, dan menambah wawasan serta meningkatkan kinerja otak.

Buku, memiliki banyak jenis ragamnya. Salah satunya yaitu novel romantis. Novel romantis inilah yang biasanya amat sangat digemari oleh kaum hawa, kenapa ya??, mungkin karena mereka suka diberlakukan secara romantis. hehe, saya hanya sekedar menerka.

Nah ternyata nih, membaca novel romantis itu memiliki manfaat dan bahayanya loh, apa sih bahaya dan manfaat yang disebabkan ?, berikut ini ulasannya versi blog fikriihsan12.blogspot.com/ :

wanita membaca novel romantis

Manfaat Membaca Novel Romantis

Didunia ini sudah menjadi hukum alam antara baik itu pasti ada buruknya, namanya juga dunia yah. Sebelum mengetahui bahayanya, kita baca dulu deh Manfaat Membaca Novel Romantis itu,:

Pertama : Kinerja Otak Meningkat dengan Membaca Novel Romantis  

Otak yang selalu dipakai untuk membaca aa saja, termasuk novel akan lebih baik karena selalu dipakai berfikir, dan tak hanya berfikir otak juga bekerja untuk menghayati stia bait-bait cerita yang ada di novel romantis. Sel-sel dalam otak yang memiliki tugas mengirimkan sinyal akan bekerja dengan lebih aktif dan baik. hingga membuat otak berfikir menjadi lebih cepat serta meningkatkan kepekaan dan kreatifitas.

kedua : Membaca Novel Romantis dapat Membuat Lebih Tenang dan Rileks

Manfaat yang kedua yaitu Membaca Novel Romantis dapat Membuat Lebih Rileks, dengan Membaca novel romantis dapat menjauhkan Anda dari stress. Itu dikarenakan, Anda bisa bisa lupa segala macam masalah karena terbawa dengan alur cerita novel romantis yang asik. Tetapi untuk benar-benar menjadi rileks, hindari sikap duduk yang salah dalam membaca. Jangan membaca sambil berbaring.

Sebaliknya, duduklah dengan sikap duduk yang nyaman, dan jangan lupa sediakan minuman favorit Anda, untuk menemani Anda membaca novel romantis .

ketiga : Membaca Novel Romantis Mendapat Pelajaran Tentang Hidup dan Percintaan

Novel romantis memang penuh dengan drama cinta, namun tak semua wanita pernah merasakan cinta. Dengan begitu, walau belum pernah merasakan cinta, kejadian seperti yang ada di dalam novel romantis, ini akan memberikan pelajaran tentang hidup dan cinta. Yang suatu saat pasti Ia akan mengalaminya. sehingga mereka bisa memiliki bayangan tentang apa yang mereka bisa lakukan dalam situasi dan kondisi tertentu.

Bahaya Membaca Novel Romantis :

Setelah membaca manfaat dari membaca novel romantis, sekarang kita akan mengetahui bahayanya. Menurut survey yang dilakukan di virginia tech di amerika, ternyata membaca novel romatis memiliki bahaya juga loh, berikut bahayanya :
pertama : Novel Romantis Membuat Wanita Terlalu Merasa Sempurna atau Perfeksionis
Kebanyakan di dalam novel romantis, selalu membawa tema percintaan yang diperankan oleh kedua pasangan pria dan wanita. Biasanya, untuk karakter yang di isi oleh pria ini digambarkan dengan sosok yang sempurna dalam segala hal, rupawan, hartawan, penyayang.

Novel romantis, akan membuat wanita hanyut dalam alunan cerita dan menginginkan perjalanan cintanya sama persis dengan apa yang ada di dalam novel romantis. Karenanya, wanita yang membaca novel romantis, kan menginginkan pasangan seperti sosok pria sempurna seperti yang ada dalam novel, pada kenyataannya ini tidak sesuai dengan kenyataan yang ada.

Hal tersebut dapat membuat wanita yang gemar membaca novel romantis menjadi sangat perfeksionis. sangat selektif atau menyebabkan masalah dalam hubungan yang sedang dijalin  dan dijalani dengan pasangan. karena wanita selalu membandingkan pasangan nyata mereka dengan sosok pria nan sempurna yang ada di dalam novel romantis.

kedua : Novel Romantis Membuat Wanita semakin Tidak Percaya Diri

Dalam novel romantis, tidak hanya karakter pria yang secara sempurna, waitanya juga iya. Sempurna, setia dan romantis serta cantik baik, Parahnya hampir selalu mendapatkan kasih sayang dari tokoh utama pria.

Bagi sebagian wanita yang terlahir dengan kepercayaan

Bagi wanita yang dilahirkan dengan kepercayaan diri rendah dan fisik yang tidak sempurna, membaca novel romantis bisa menjadi senjata yang membuat mereka justru kehilangan rasa kepercayaan diri mereka. Mereka akan terpuruk dan pesimis mendapatkan pasangan yang mencintai mereka apa adanya.

Menurut survei di Virginia Tech USA, para wanita dengan kelebihan berat badan akan mengalami kecemasan setelah membaca sebuah novel romantis yang memiliki tokoh utama wanita dengan bentuk dan ukuran tubuh yang ideal.


Demikian Manfaat dan bahaya membaca novel romantis bagi wanita. namun, manfaat dan bahaya yang terjadi diatas tentu saja tidak mutlak akan di alami oleh semua wanita. Semua itu kembali kepada diri wanitanya masing-masing. Selanjutnya bagi para wanita yang sangat suka membaca novel, ini merupakan sebuah nilai plus, karena yang namanya membaca itu sangat baik. Teruskan hoby Anda dalam membaca, silahkan ambil yang baik dan tinggalkan segala apapun yang buruk untuk diri Anda.

Semoga bermanfaat.. ^_^
Inspirasi tulisan : teruskan.com