Periwayatan Hadis secara Lafaz dan Makna
Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah Pengantar Ilmu Hadis
Dosen Pembimbing: M. Isa HA Salam, Dr, MAg
D
I
S
S
U
N
OLEH
Kelompok 13
Farhatul Muthiah
Fikri Ihsan
Meidy Inayati Asykarillah

Jurusan Tafsir-Hadis E Semester I
Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Jakarta
2013
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah swt yang telah member rahmat dan hidayah-Nya serta akesehatan, keselamatan kepada kita semua, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik. Semata-mata hanya untuk menyempurnakan materi kuliah PENGANTAR ILMU HADIS, dalam bentuk makalah yang berjudul “Periwayatan Hadis Secara Lafaz dan Makna.”
Penulis berharap apa yang telah penulis tuliskan ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca umumnya. Tak lupa pula penulis ucapkan ribuan terima kasih kepada Bapak dosen yang telah memberikan ilmunya dan pengarahannya serta bantuannya kepada penulis dalam penyelesaian tugas ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Untuk itu, saran dan kritik yang bersifat memperbaiki dari para pembaca sangat penulis harapkan.
Atas segala perhatiannya penulis ucapkan terima kasih. Penulis berharap semoga penyajian makalah penulis ini dapat diterima bagi para pembaca. Semoga Allah swt senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Aamiin.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………..ii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………..1
1. Latar Belakang…………………………………………………………………….1
2. Rumusan Masalah…………………………………………………………………1
3. Tujuan Pembahasan……………………………………………………………….1
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………………2
A. Pengertian Periwayatan Hadis…………………………………………………….2
B. Periwayatan Hadis secara Lafaz…………………………………………………...3
C. Periwayatan Hadis secara Makna………………………………………………….6
BAB III PENUTUP………………………………………………………………………10
KESIMPULAN…………………………………………………………………..10
DAFTAR KEPUSTAKAAN……………………………………………………………..11
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai salah satu sumber hukum Islam, hadis memiliki kedudukan yang penting bagi umat Islam. Malahan, hadis menjadi satu di antara dua panduan beragama umat Islam agar selamat dan tidak sesat dalam kehidupan di dunia. Begitu besar perhatian ulama dan umat Islam, berbagai kajian dan studi muncul untuk memahami hadis.
Dalam ajaran Islam, hadis atau sunnah menempati posisi yang sangat penting, yaitu sebagai sumber ajaran kedua setelah Al-Quran. Jika didiskusi lebih spesifik lagi, dari sudut pandang periwayatan, setidaknya ada dua cara periwayatan hadis. Pertama, periwayatan dengan lafaz , yaitu hadis diriwayatkan oleh perawinya sesuai dengan redaksi atau lafal hadis yang diterimanya dari orang yang menyampaikan hadis tersebut kepadanya, tanpa ada perubahan, pengurangan, penambahan, atau perbedaan. Kedua, periwayatan dengan makna, yaitu periwayatan hadis dengan redaksi yang berbeda dari redaksi hadis yang diterima oleh para perawi, namun isi maksud dan maknanya sama.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian periwayatan hadis?
2. Bagaimana pengertian periwayatan hadis dengan lafaz dan makna?
3. Bagaimana syarat-syarat periwayatan hadis?
C. Tujuan Pembahasan
1. Ingin mengetahui pengertian periwayatan hadits.
2. Ingin mengetahui pengertian periwayatan hadis dengan lafaz dan makna.
3. Ingin mengetahui bagaimana syarat-syarat periwayatan hadis.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Periwayatan Hadis
Terhimpunnya hadis dalam kitab-kitab hadis semisal Shahih Bukhari dan Shahih Muslim telah melalui kegiatan yang dinamai dengan riwayatul hadis atau al-riwayat. Dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan menceritakan hadis atau periwayatan.[1] Sesuatu yang diriwayatkan secara umum juga biasa disebut dengan riwayat.[2]
Kata riwayat adalah masdar dari kata kerja rawa yang berarti naql dan zikir. Artinya adalah penukilan dan penyebutan.[3] Dalam istilah ilmu hadis, riwayat adalah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis.
Perawi hadis adalah orang yang menerima hadis dari guru dan kemudian menyampaikan atau mengajarkannya kepada orang lain (murid). Dengan demikian ada dua fungsi perawi, yaitu menerima dan menyampaikan. Seorang sahabat yang menerima hadis dari Rasul, misalnya, tetapi dia tidak menyampaikannya kepada yang lain, maka ia tidak disebut perawi. Adapun proses penerimaan dan penyampaian hadis kepada yang lain disebut periwayatan.
Seorang perawi hadis dituntut menyampaikan hadis yang diterimanya dari rasul atau sahabat kepada lain seperti apa yang didengarnya tanpa disertai komentar. Perawi bukan pensyarah atau penjelas hadis yang disampaikan.Apabila ia memberi tambahan penjelasan atau komentar, maka tidak disebut materi hadis. Oleh sebab itu dia bukan perawi yang dipercaya dan diterima riwayatnya.[4]
Secara istilah riwayah adalah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis, serta penyandaran hadis itu kepada para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu.
Beberapa point penting yang harus ada dalam periwayatan hadis adalah sebagai berikut:
a. Orang yang melakukan periwayatan hadis yang kemudian dikenal dengan rawi (periwayat)
b. Apa yang diriwayatkan
c. Susunan rangkaian para periwayat (sanad/isnad)
d. Kalimat yang disebutkan sesudah sanad yang kemudian dikenal dengan matan, dan
e. Kegiatan yang berkenaan dengan proses penerimaan dan penyampaian hadis (at-tahamul wa ada al-hadis).
Pembatasan atau penyederhanaan periwayatan hadis, yang ditunjukkan oleh para sahabat dengan sikap kehati-hatiannya, tidak berarti hadis-hadis rasul tidak diriwayatkan. Dalam batas-batas tertentu hadis-hadis itu diriwayatkan, khususnya yang berkaitan dengan kebutuhan hidup masyarakat sehari-harinya seperti dalam permasalahan ibadah dan muamalah. Periwayatan tersebut dilakukan setelah diteliti secara ketat pembawa hadis tersebut dan kebenaran isi matannya.
Ada dua jalan para sahabat dalam meriwayatkan hadis dari Rasulullah saw. Pertama dengan jalan periwayatan lafzhi (redaksinya persis seperti yang disampaikan Rasul saw.), dan kedua, dengan jalan periwayatan maknawi (maknanya saja).
B. Periwayatan Hadis secara Lafzhi
Periwayatan lafzhi adalah periwayatan hadis yang redaksinya atau matannya persis seperti yang diwurudkan Rasul saw, ini hanya bisa dilakukan apabila mereka hafal benar apa yang disabdakan Rasul saw.
Kebanyakan dari para sahabat menempuh periwayatan hadis melalui cara ini. Mereka berusaha agar periwayatan hadis sesuai dengan redaksi dari Rasulullah saw, bukan menurut redaksi mereka. Bahkan menurut ‘Ajjaj Al-Khathib, sebenarnya, seluruh sahabat menginginkan agar periwayatan itu dengan lafzhi bukan dengan maknawi.[5] Sebagian dari mereka secara ketat melarang meriwayatkan hadis dengan maknanya saja, hingga satu huruf atau satu katapun tidak boleh diganti. Begitu pula tidak boleh mendahulukan susunan kata yang disebut rasul di belakang atau sebaliknya, atau meringankan bacaan yang tadinya tsiqal (berat) dan sebaliknya.
Dalam hal ini Umar bin Khattab pernah berkata:
“Barang siapa yang mendengar hadis dari Rasul saw kemudian ia meriwayatkannya sesuai dengan yang ia dengar, orang itu selamat”.[6]
Periwayatan dengan lafaz ini dapat kita lihat pada hadis-hadis yang memiliki redaksi sebagai berikut:
1. سمعت (Saya mendengar)
Contoh:
عن المغيرة قال: سمعت رسول الله صلّى الله عليه وسلّم يقول: إِنَّ كَذِباً عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّداً فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (رواه مسلم وغيره)
Artinya: Dari Mughirah ra, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya dusta atas namaku itu tidak seperti dusta atas nama orang lain. Maka siapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaknya ia menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Muslim dan lain-lainnya)
2. حدّثنى ( ia menceritakan kepadaku)
Contoh:
حَدَّتَنِى مَالِكٌ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ حُمَيْدِبْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ قَامَ رَمَضَانَ اِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ
مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Artinya: Malik dari Ibnu Syihab telah bercerita kepadaku, dari Humaidi bin Abdur Rahman dari Abi Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang melakukan qiyam Ramadhan dengan iman dan ihtisab, diampuni doasa-dosanya yang telah lalu.”
3. أخبرنى (Ia memberitakan kepadaku)
4. رأيت (Saya melihat)
Contoh:
عن عبّاس بن ربيع قال: رأيت عمربن الخطّاب رضي الله عنه يقبّل الحجر “يعنى الأسود” ويقول إِنِّى لاَءَ عْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لاَتَضُرُّ وَلاَ تَنْفَعُ وَلَوْلاَ أَنِّى رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ (رواه البخارى ومسلم)
Artinya: Dari Abbas bin Rabi’ ra., ia berkata: Aku melihat Umar bin Khaththab ra., mencium Hajar Aswad lalu ia berkata: “Sesungguhnya benar-benar aku tahu bahwa engkau itu sebuah batu yang tidak memberi mudharat dan tidak (pula) memberi manfaat. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah SAW. menciummu, aku (pun) tak akan menciummu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis yang menggunakan lafaz-lafaz di atas memberikan indikasi, bahwa para sahabat langsung bertemu dengan Nabi SAW dalam meriwayatkan hadis. Oleh sebab itu para ulama menetapkan periwayatan hadis dengan lafaz dapat dijadikan hujjah, dan tidak ada khilaf.
Di antara para sahabat yang paling keras mengharuskan periwayatan hadis dengan jalan lafzhi adalah Ibnu Umar. Ia sering kali menegur sahabat yang membacakan hadis yang berbeda (walau satu kata) dengan yang pernah didengarnya dari Rasul saw, seperti yang dilakukannya terhadap Ubaid ibn Amir. Suatu ketika seorang sahabat menyebutkan hadis tentang lima prinsip dasar Islam dengan meletakkan puasa Ramadhan pada urutan ketiga. Ibn Umar serentak menyuruh agar meletakkannya pada urutan ke empat, sebagaimana yang didengarnya dari Rasulullah saw.
Selanjutnya ulama’ ahli hadis sepakat akan keharusan periwayatan hadis secara lafal untuk hadis-hadis berikut ini:
1. Hadis-hadis yang berkaitan dengan penyebutan-penyebutan nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya. Mereka memandangnya sebagai sebagai suatu hal yang tauqifiy dan tidak boleh diganti dengan kalimat atau kata lain walaupun sepadan.
2. Hadis-hadis yang mengandung lafal-lafal yang dianggap ibadah (ta’abbudiya) misalnya hadis-hadis do’a.
3. Hadis-hadis tentang jawami’ al-kalim, yakni ungkapan pendek sarat makna yang mengandung nilai balaghoh yang tinggi dan periwayatannya secara makna tidak mungkin bisa mewakili seluruh kandungan makna hadis yang dimaksud.
4. Hadis-hadis yang berkaitan dengan lafal-lafal ibadah, misalnya hadis tentang azan, iqamat, takbir, shalat, sighat syahadat, dan sighat akat.[7]
Perlu ditegaskan pula, ulama’ ahli hadis sepakat bahwa menjaga lafal hadis, menyampaikannya sesuai dengan lafal yang diterima dan didengarnya, tanpa merubah, mengganti huruf atau kata, adalah lebih utama daripada periwayatannya secara makna. Hal ini karena kalam Nabi adalah perkataan yang mengandung fashahah dan balaghah yang tidak ada bandingannya. Dan periwayatan secara makna otomatis akan menimbulkan perbedaan redaksi (dari redaksi semula dan antara periwayat yang berbeda).Bahkan redaksi hadis ini ada yang menyebabkan perbedaan makna atau maksud hadis.[8]
C. Periwayatan Hadis secara Maknawi
Di antara para sahabat lainnya ada yang berpendapat, bahwa dalam keadaan darurat, karena tidak hafal persis seperti yang diwurudkan Rasul saw, boleh meriwayatkan hadis secara maknawi. Periwayatan maknawi artinya periwayatan hadis yang matannya tidak persis sama dengan yang didengarnya dari Rasul saw, akan tetapi isi atau maknanya tetap terjaga secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasul saw, tanpa ada perubahan sedikitpun.
Meskipun demikian, para sahabat melakukannya dengan sangat hati-hati. Ibnu Mas’ud misalnya, ketika ia meriwayatkan hadis ada istilah-istilah tertentu yang digunakannya untuk menguatkan penulisannya, seperti dengan kata: qala Rasul saw hakadza (Rasul saw telah bersabda begini), atau nahwan, atau qala Rasul saw qariban min hadza.[9]
Abu Bakar ibn al-‘Arabi berpendapat bahwa selain sahabat Nabi saw tidak diperkenankan meriwayatkan hadis secara makna. Alasannya adalah, yangpertama, sahabat memiliki pengetahuan bahasa Arab yang tinggi (al-fashahah wa al-balaghah), dan kedua, sahabat menyaksiakan langsung keadaan dan perbuatan Nabi saw.[10]
Periwayatan hadis dengan maknawi akan mengakibatkan munculnya hadis-hadis yang redaksinya antara satu hadis dengan hadis lainnya berbeda-beda, meskipun maksud atau maknanya tetap sama. Hal ini sangat tergantung kepada para sahabat atau generasi berikutnya yang meriwayatkan hadis-hadis tersebut.
Karakteristik yang menonjol pada era sahabat ini adalah, bahwa para sahabat memiliki komitmen yang kuat terhadap Kitab Allah. Mereka memeliharanya dengan lembaran-lembaran, mushaf, dan dalam hati mereka. Kehati-hatiannya terhadap Al-Quran ini juga diberlakukan terhadap sunnah meskipun di satu sisi ada larangan dari Nabi saw untuk menuliskannya. Meskipun demikian mereka berupaya mempertahankan kedua-duanya. Setelah Al-Kitab terkumpul dalam satu suhuf, mereka baru berani menuliskan sunnah Nabi.
Ulama hadis berpendapat bahwa selain sahabat boleh meriwayatkan hadis secara makna, namun dengan beberapa ketentuan. Di antara ketentuan-ketentuan yang disepakati para ulama hadis adalah:
a. Yang boleh meriwayatkan hadis secara makna hanyalah mereka yang benar-benar memiliki pengetahuan bahasa Arab yang mendalam. Dengan demikian, periwayatan matan hadis akan terhindar dari kekeliruan, misalnya manghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.
b. Periwayatan dengan makna dilakukan bila sangat terpaksa, misalnya Karena lupa susunan secara harfiah.
c. Yang diriwayatkan dengan makna bukanlah sabda Nabi dalam bentuk bacaan yang sifatnya ta’abbudi, seperti bacaan zikir, doa, azan, takbir, dan syahadat, dan juga bukan sabda Nabi yang dalam bentuk jawami’ al-kalim.
d. Periwayat yang meriwayatkan hadis secara makna, atau yang mengalami keraguan akan susunan matan hadis yang diriwayatkannya, agar menambahkan kata-kata ل قا كما او , atau هذا نحو او , atau yang semakna dengannya, setelah menyatakan matan hadis yang bersangkutan.
e. Kebolehan periwayatan hadis secara makna hanya terbatas pada masa sebelum dibukukannya hadis-hadis Nabi secara resmi. Sesudah masa pembukuannya, maka periwayatan hadis harus secara lafaz.[11]
Dengan adanya ketentuan tersebut, maka para perawi tidak bebas dalam meriwayatkan hadis secara makna.
Shubhi Ismail menyebut empat syarat yang harus dipenuhi periwayatan dengan makna adalah pertama, perawi hadis itu betul-betul seorang yang alim mengenai ilmu nahwu, sharaf dan ilmu bahasa Arab; kedua, perawi itu harus mengenal dengan baik segala madlul lafal dan maksud-maksudnya; ketiga, perawi itu harus betul-betul mengetahui hal-hal yang berbeda di antara lafal-lafal tersebut; dan keempat, perawi itu harus mempunyai kemampuan menyampaikan hadis dengan penyampaian yang benar dan jauh dari kesalahan atau kekeliruan. Di samping empat syarat tersebut Abu Rayyah menambah satu syarat lagi, yaitu tidak boleh penambahan atau pengurangan di dalam terjemahan (penyampaian hadis dengan makna) terserbut.[12]
Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka tidak boleh meriwayatkan hadis bil ma’na , tetapi boleh meriwayatkan bil-lafzh. Imam Asy-Syafi’i menyebutkan tentang sifat-sifat seorang perawi sebagai berikut :
1. Tsiqah dalam beragama
2. Terkenal kejujurannya dalam periwayatan hadisnya.
3. Mengetahui dengan apa yang diriwayatkannya
4. Mengetahui seluk beluk makna hadis berdasarkan lapazhnya.
5. Terkenal sebagai perawi hadis bil lafzh.
6. Hafal jika ia meriwayatkan hadis dari hapalannya.
7. Hafal dengan tulisannya jika ia meriwayatkan hadis dari catatan (tulisannya).
Selain itu, orang yang mengetahui dengan segala makna hadis dari segi lafaznya, ia boleh meriwayatkannya dengan maknanya saja apabila ia tidak dapat mendatangkan lafaznya yang asli, karena ia menerima hadis itu dengan lafaz dan maknanya. Namun ia tidak mampu untuk menyampaikan salah satunya (lafazhnya ), maka boleh saja ia meriwayatkan hadis itu dengan maknanya selama dapat menghindari kekeliruan (zalal) dan kesalahan (khatha’), Sebab tidak menyampaikan hadis dengan maknanya dinilai menyembunyikan hukum.[13]
Terjadinya periwayatan secara makna disebabkan beberapa faktor berikut:
a. Adanya hadis-hadis yang memang tidak mungkin diriwayatkan secara lafaz, karena tidak adanya redaksi langsung dari nabi Muhammad SAW, seperti hadis fi’liyah, hadis taqririyah, hadis mauquf dan hadis maqthu’. Periwayatan hadis-hadis tersebut adalah secara makna dengan menggunakan redaksi perawi sendiri.
b. Adanya larangan nabi untuk menuliskan selain Alquran. Larangan ini membuat sahabat harus menghilangkan tulisan-tulisan hadis. Di samping larangan, ada pemberitahuan dari nabi tentang kebolehan menulis hadis.
c. Sifat dasar manusia yang pelupa dan senang kepada kemudahan, menyampaikan sesuatu yang dipahami lebih mudah dari pada mengingat susunan kata-katanya.[14]
BAB III
PENUTUP
Dari Pembahasan di atas dapat disimpulkan:
1. Kata riwayat adalah masdar dari kata kerja rawa yang berarti naql dan zikir. Artinya adalah penukilan dan penyebutan. Dalam istilah ilmu hadis, riwayat adalah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis.
2. Perawi hadis adalah orang yang menerima hadis dari guru dan kemudian menyampaikan atau mengajarkannya kepada orang lain (murid). Dengan demikian ada dua fungsi perawi, yaitu menerima dan menyampaikan.
3. Beberapa point penting yang harus ada dalam periwayatan hadis adalah sebagai berikut:
a. Orang yang melakukan periwayatan hadis yang kemudian dikenal dengan rawi(periwayat)
b. Apa yang diriwayatkan
c. Susunan rangkaian para periwayat (sanad/isnad)
d. Kalimat yang disebutkan sesudah sanad yang kemudian dikenal denganmatan, dan
e. Kegiatan yang berkenaan dengan proses penerimaan dan penyampaian hadis (at-tahamul wa ada al-hadis).
4. Periwayatan lafzhi adalah periwayatan hadis yang redaksinya atau matannya persis seperti yang diwurudkan Rasul saw, ini hanya bias dilakukan apabila mereka hafal benar apa yang disabdakan Rasul saw.
5. Periwayatan maknawi artinya periwayatan hadis yang matannya tidak persis sama dengan yang didengarnya dari Rasul saw, akan tetapi isi atau maknanya tetap terjaga secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasul saw, tanpa ada perubahan sedikitpun.
DAFTAR PUSTAKA
Afrinaldi Yunas. Periwayatan Hadis secara Lafaz dan Makna, (Online), (http://afrinaldi.blogspot.com, diakses 5 Oktober 2012).
‘Ajjaj, Muhammad. 1989. Ushul al Hadis. Dar al-Fikr.
Anshary, A. Hafiz. 2000. Periwayatan Hadis dengan Lafal dan Makna.
Ismail, Syuhudi. 1988. Kaedah Kesahihan Sanad Hadis. Jakarta: Bulan Bintang.
Ma’luf, Luwis. 1973. Al-Munjid fi al-Lughah. Beirut: Dar al-Masyriq.
Munawwir, AW. 1997. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap.Surabaya: Pustaka Progresif.
Noorhidayati, Salamah. Diktat Ulumul Hadis.
Ritonga, A.Rahman. Studi Ilmu-ilmu Hadis. Yogyakarta: Interpena.
Suparta, Munzier. 2010. Ilmu Hadis. Jakarta: Rajawali Pers.
Yuslem, Nawir. 2001. Ulumul Hadis. Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya.
[1] A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h.551
[2] M.Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, (Jakarta:Bulan Bintang), hlm.23.
[3] Luwis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah, (Beirut:Dar al-Masyriq,1973), hlm.289
[4] A.Rahman Ritonga, Studi Ilmu-Ilmu Hadis, (Yokyakarta:Interpena, 2011), hlm.178.
[5] Ibid., hlm. 85.
[6] Al-ramaharmuzi, Al-Muhaddits Al-Fashil Baina Al-Rawi wa Al-Wa’i “(Beirut: Dar Al-Fikr, 1984), hlm. 127.
[7] Salamah Noorhidayati, Diktat Ulumul Hadits, hlm. 27.
[8] Ibid
[9] Ajjaj Al-Khattib, op. cit., hlm. 130. Lihat juga Al-Khattib Al-Baghdadi, Al-Jami’ li Akhlaq Al-Rawi wa Adabi Al-Sami’, (Kairo: Dar Al-Kutub Al-Maishriyah,t.t,) hlm.106.
[10] M.Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), hlm. 70.
[11] Ibid., hlm.71: Bandingkan Al-Ramahirmuzi, Al-Muhaddits al-Fashil bayn al-Rawi wa al-Wa’i, Ed. M. ‘Ajjaj al-Khathib (Beirut: Dar al-Fikr, 1404 H/1984 M), hlm. 530-531; Ibn al-Shalah, ‘Ulum al-Hadits; h. 187-192; ‘Ajjaj al-Khathib, Al-Sunnah, hlm. 132-135.
[12] A. Hafiz Anshary AZ, Periwayatan Hadis dengan Lafal dan Makna, dalam Khazanah Nomor 54 Oktober Desember 2000, IAIN Antasari, 2000 hlm. 95
[13] Muhammad ‘Ajjaj al Khatib, Ushul al Hadis, Dar al-Fikr, 1989. hlm. 252
[14] A.Rahman Ritonga, Op Cit, hlm.181