At-Ta’rif wa At-Tankir (Ma’rifah dan Nakirah)
Makalah ini Diajukan untuk Memenuhi Tugas
pada Mata
Kuliah : Qawaid Tafsir
Dosen Pembimbing : Dr. Ahzami Samiun Jazuli, M.A.
Disusun Oleh :
Kelompok III
Fikri Ihsan (1113034000189)
Zhuda Surya Prasetya (1113034000117)
Muhammad Munawar (1113034000220)

PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
JAKARTA
2014
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR……………………………………………………………………….i
DAFTAR
ISI………………………………………………………………………………...ii
BAB
I PENDAHULUAN…………………………………………………………………...1
1. Latar Belakang………………………………………………………....….................1
2. Rumusan
Masalah…………………………………………………………………....1
3. Tujuan Pembahasan……………………………………………………………….....1
BAB
II PEMBAHASAN…………………………………………………………………....2
A. Pengertian At-Ta’rif wa At-Tankir ………………………………………………......2
B. Contoh dan Analisisnya
……………………………………......................................5
BAB
III PENUTUP………………………………………………………………………….9
KESIMPULAN………………………………………………………………………….9
DAFTAR
KEPUSTAKAAN………………………………………………………………..10
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah swt yang telah
memberi rahmat dan hidayah-Nya serta kesehatan, keselamatan kepada kita semua,
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik. Semata-mata untuk
menyempurnakan materi kuliah Metode Tafsir, dalam bentuk makalah yang berjudul
“At-Ta’rif wa At-Tankir.”
Penulis
berharap apa yang telah penulis paparkan ini dapat bermanfaat bagi penulis
khususnya dan bagi para pembaca umumnya. Tak lupa pula penulis ucapkan ribuan
terima kasih kepada Bapak dosen yang telah memberikan ilmunya dan pengarahannya
serta bantuannya kepada penulis dalam penyelesaian tugas ini.
Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan.
Untuk itu, saran dan kritik yang bersifat memperbaiki dari para pembaca sangat
penulis harapkan.
Atas
segala perhatiannya penulis ucapkan terima kasih. Penulis berharap semoga
penyajian makalah penulis ini dapat diterima bagi para pembaca. Semoga Allah
swt senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Amin.
Jakarta,
23 Maret 2015
Pemakalah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Melihat betapa penting (urgen) dan
sentralnya posisi sebuah penafsiran atas kitab suci Al-Quran, maka penafsiran
terhadapnya perlu dilakukan secara hati-hati dan penuh kesungguhan, yaitu
dengan tetap berpegang pada kaidah-kaidah atau pedoman-pedoman serta
prinsip-prinsip dasar yang diperlukan bagi sebuah penafsiran.
Di dalam hal ini, pembahasan
mengenai kaidah-kaidah tafsir (Qowaid
At-Tafsir) di antaranya yaitu kaidah bahasa dan salah satu kajiannya adalah
kaidah At-Ta’rif wa At-Tankir. Kaidah At-Ta’rif wa At-Tankir
sangat penting dipelajari dan dikuasai oleh seorang mufasir, karena pemahaman
suatu ayat atau kalimat kadang tergantung kepada penguasaan terhadap kedua
komponen tersebut.
Pada makalah ini akan mengkaji tentang hal-hal yang berkenaan dengan
ma’rifah dan nakirah tersebut, di antaranya definisi, contoh-contoh dan
analisis serta beberapa problematikanya dalam penafsiran yang diharapkan memberikan
deskriptif yang jelas, sehingga dalam memahami dan menafsirkan Al-Quran tidak
salah dan keliru.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
Pengertian Ma’rifah dan Nakirah (At-Ta’rif
wa At-Tankir)
2. Bagaimana
Cara Mengetahui Problematika At-Ta’rif wa
At-Tankir
3. Apa
Contoh-contoh dan bagaimana Analisis At-Ta’rif
wa At-Tankir
C. Tujuan Masalah
1. Untuk
Mengetahui Pengertian At-Ta’rif wa
At-Tankir
2. Agar
Memahami Cara untuk Mengetahui At-Ta’rif
wa At-Tankir
3. Untuk
Mengetahui Contoh-contoh dan Analisis At-Ta’rif
wa At-Tankir
PEMBAHASAN
A. Pengertian At-Ta’rif wa
At-Tankir
At-Ta’aarif wa At-Tanaakir adalah
bentuk plural dari Ta’riif dan Tankiir.
Kedua kata ini berasal dari bahasa Arab dan istilah ini biasa disebut dengan Ma’rifah dan
Nakirah. Kedua istilah ini adalah sebutan bagi al-Ism (kata
benda). Yang pertama menunjuk kepada sesuatu yang sudah jelas dan terbatas;
sementara yang kedua kebalikannya, yaitu menunjuk kepada suatu benda secara
umum tanpa memberikan batasan yang jelas dan tegas. Atau dengan ungkapan lain, Ma’rifah menunjuk
kepada individu secara khusus sedang Nakirah menunjuk kepada
jenis dari individu tersebut. [[1]]
Dalam bahasa
Arab ism al-ma’rifah mempunyai peran penting, baik secara sintaksis maupun
sistematis. Secara umum dapat dikatakan bahwa fungsi ism al-ma’rifah adalah
untuk menunjukkan bahwa kata yang bersangkutan adalah ma’ruf (diketahi) atau
untuk ta’rif. [[2]] Sedangkan yang dimaksud dengan ism al-nakirah
merupakan kebalikan dari ism al-ma’rifah, yaitu isim yang menujukkan sesuatu
yang belum jelas pengertiannya. Definisi
lain menyebutkan bahwa ism al-nakirah adalah setiap isim yang pantas baginya
kemasukkan alif-lam. [[3]]
Kata (محمد)
misalnya, adalah ism ma’rifah karena ia menunjuk kepada
seseorang secara jelas dan tegas, sebaliknya kata (رجل)
adalah ism nakirah karena tidak menunjuk kepada
seseorang yang jelas, melainkan hanya menunjukkan jenis laki-laki.
a. Ma’rifah (At-Ta’rif)
Yang dimaksud term Ma’rifah dalam
sub bahasan ini, khusus mengenai Ma’rifah yang menggunakan alif lam
(ال), bukan kata-kata yang Ma’rifah secara
umum. Untuk kajian ulum al-Quran, maka yang akan dikaji dalam bahasan kali ini
adalah faedah-faedah atau tujuan pemakaian kata-kata yang ma’rifah dan nakirah dalam
al-Quran.
Adapun para pakar ulum
al-Qur’an, seperti Imam al-Zarkasyi dan al-Suyuthi menyimpulkan sejumlah
dari faedah dari pemakaian kata-kata yang Ma’rifah dalam al-Qur’an
sebagai berikut:
1) Menunjuk kepada kata
yang sudah disebut sebelumnya, yaitu faedah ال
للعهد الخارجى/الذكرى seperti:
!$¯RÎ) !$uZù=y™ö‘r& óOä3ö‹s9Î) Zwqß™u‘ #´‰Îg»x© ö/ä3ø‹n=tæ !$uKx. !$uZù=y™ö‘r& 4’n<Î) šcöqtãöÏù Zwqß™u‘ ÇÊÎÈ 4Ó|Âyèsù ãböqtãöÏù tAqß™§9$# çm»tRõ‹s{r'sù #Z‹÷{r& Wx‹Î/ur ÇÊÏÈ
Artinya:
15. “Sesungguhnya Kami telah mengutus
kepada kamu (hai orang kafir Mekah) seorang rasul, yang menjadi saksi
terhadapmu, sebagaimana Kami telah mengutus (dahulu) seorang Rasul kepada
Fir'aun.
16. Maka
Fir'aun mendurhakai Rasul itu, lalu Kami siksa Dia dengan siksaan yang berat.” (Q.S.
Al-Muzammil/73 : 15-16)
Kata (الرسول)
yang ketiga itu sama konotasinya dengan kata (رسولا)
yang disebut sebelumnya. Yakni menunjuk kepada seseorang yang sama, yaitu nabi
Musa ‘alayhissalaam. Hal ini dapat dipahami dari penggunaan (ال) pada kata (الرسول)
yang ketiga tersebut.
2) Menunjuk kepada
sesuatu yang sudah dikenal oleh pembicara dan lawan bicara, yaitu faedah ال للعهد
الذهنى seperti:
žwÎ) çnrãÝÁZs? ô‰s)sù çnt|ÁtR ª!$# øŒÎ) çmy_t÷zr& tûïÏ%©!$# (#rãxÿŸ2 š†ÎT$rO Èû÷üoYøO$# øŒÎ) $yJèd †Îû Í‘$tóø9$# øŒÎ) ãAqà)tƒ ¾ÏmÎ7Ås»|ÁÏ9 Ÿw ÷bt“øtrB žcÎ) ©!$# $oYyètB ( tAt“Rr'sù ª!$# ¼çmtGt^‹Å6y™ Ïmø‹n=tã ¼çny‰ƒr&ur 7ŠqãYàfÎ/ öN©9 $yd÷rts? Ÿ@yèy_ur spyJÎ=Ÿ2 šúïÏ%©!$# (#rãxÿŸ2 4’n?øÿ¡9$# 3 èpyJÎ=Ÿ2ur «!$# š†Ïf $u‹ù=ãèø9$# 3 ª!$#ur ͕tã íOŠÅ3ym ÇÍÉÈ
Artinya :
“Jikalau
kamu tidak menolongnya (Muhammad) Maka Sesungguhnya Allah telah menolongnya
(yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah)
sedang Dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di
waktu Dia berkata kepada temannya: "Janganlah kamu berduka cita,
Sesungguhnya Allah beserta kita." Maka Allah menurunkan keterangan-Nya
kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya,
dan Al-Quran menjadikan orang-orang kafir Itulah yang rendah. dan kalimat Allah
Itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [643]
(Q.S. At-Taubah/9 :40)
[643] Maksudnya: orang-orang kafir telah sepakat
hendak membunuh Nabi SAW, Maka Allah s.w.t. memberitahukan maksud jahat
orang-orang kafir itu kepada Nabi SAW. karena itu Maka beliau keluar dengan
ditemani oleh Abu Bakar dari Mekah dalam perjalanannya ke Madinah beliau bersembunyi
di suatu gua di bukit Tsur.
øŒÎ) $yJèd †Îû Í‘$tóø9$#
Artinya:
“… ketika keduanya berada dalam gua….”.
(Q.S. At-Taubah/9 :40).
Kata (الغار)
dalam ayat itu menunjuk kepada gua Tsur, tempat Rasulullah bersama Abu Bakar bersembunyi
ketika keduanya dikejar oleh kafir Quraisy sewaktu hijrah ke Madinah. Itu
sebabnya kata (الغار) diterjemahkan dengan
gua Tsur di Lereng bukit Tsur.
3) Menunjuk kepada waktu (sekarang) ketika
peristiwa yang dimaksud terjadi, yaitu faedah ال
للعهد الحضرى seperti: (اليوم, الأن) dan
lain sebagainya. Sebagai contoh seperti dalam ayat ketiga surah al-Maidah (5):
...أليوم
أكملت لكم دينكم ....
Artinya:
3. “…Pada hari ini telah Kusempurnakan
untuk kamu agamamu, ….”.
Kata hari yang dimaksud dalam ayat ini ialah hari
Arafah. Hal ini dipahami dari (ال) yang digunakan pada
kata tersebut karena ayat tersebut memang diturunkan pada hari Arafah ketika
Nabi bersama para sahabatnya menunaikan ibadah haji.
4) Menunjukkan kepada konotasi tertentu
jika digunakan pada ism jenis. Artinya, penggunaan ال pada suatu ism jenis
memberikan makna khusus antara lain:
a) Untuk menunjukkan suatu kelebihan yang
tidak dipunyai oleh yang lain (mubalaghah) seperti ungkapan زيد الرجل , artinya Zaid adalah seorang yang
sempurna kelaki-lakiannya. Menurut Sibawayhi semuaال yang
dipakai dalam sifat-sifat Tuhan masuk dalam kategori ini.
b) Untuk menegaskan hakikat
keberadaan dari ism jenis tersebut sepertiال pada QS. Al-An’am 89:
...أولئك
الذين ءاينهم الكتاب والحكم والنبوة....
Adanya tambahan ال pada
kata-kata tersebut menyatakan bahwa Tuhan benar-benar telah mendatangkan ketiga
unsur tersebut, bukan mengandung pengertian mubalaghah seperti
yang pertama.
5) Untuk menyatakan bahwa makna
dari kata yang memakai ال tersebut
mencakup semua individu yang tergabung di dalamnya (إستغراقية).
Di antara ciri ال ini adalah
boleh diikuti oleh istitsna’ (pengecualian) setelahnya seperti : [[4]]
¨bÎ) z`»|¡SM}$# ’Å"s9 AŽô£äz ÇËÈ žwÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# (#öq|¹#uqs?ur Èd,ysø9$$Î/ (#öq|¹#uqs?ur ÎŽö9¢Á9$$Î/ ÇÌÈ
Dan boleh pula disifati dengan jamak seperti ال yang terdapat pada kata الطفل dalam ayat 31 dari QS. An-Nuur:
...أوالطفل
الذين لم يظهروا على عورات النساء....
Kata الذين yang
berfungsi sebagai sifat bagi الطفل adalah
jamak dari الذي. Namun, di sini hal
itu boleh terjadi karena الطفل memakai الistighraqiyyah tersebut.
Dari uraian di atas tampak dengan
jelas bahwa masuknya ال pada suatu kata
memberikan pengertian tertentu yang tidak dijumpai pada kata yang sama bila
tidak memakai ال tersebut.
b. Nakirah (At-Tankir)
Apabila pemakaian ال pada suatu kata (ism jenis)
memberikan pengaruh terhadap pengertian kata tersebut, maka tidak memakainya
juga ada pengaruh terhadap konotasi kata itu. Kata ism yang
tidak memakai ال seperti itulah
yang dimaksud dengan ism nakirah dalam sub bahasan ini. [[5]]
Ism Nakirah adalah ism yang
menunjukkan kepada benda yang tidak tentu. Di dalam al-Quran pemakaian ism ini
memiliki beberapa fungsi, antara lain:
1) Untuk menunjukkan individu tertentu/ ism tunggal
(إرادة الوحدة), seperti kata (رجل) dalam Q.S. al-Qashash (28):20 yang
menunjuk kepada seorang laki-laki. [[6]]
2) Untuk
menunjukkan ragam atau macam (إرادة النوع),
seperti kata (دابة) dalam Q.S.
an-Nuur (24):45 yang mengandung pengertian beragam binatang dari air. Demikian
juga kata (حياة) dalam al-Baqarah
(2):96, pengertian hayat (kehidupan) dalam ayat di atas adalah
untuk mencari tambahan (bekal) di masa mendatang sebab keinginan itu bukan
terhadap masa lalu atau masa sekarang.
3) Untuk
mengagungkan atau memuliakan (التعظيم),
seperti kata (حرب) dalam Q.S.
al-Baqarah (2):279 yang berarti peperangan yang dahsyat.
4) Untuk
menunjukkan jumlah yang banyak (التكثير),
seperti kata (أجرا) dalam Q.S.
al-Syu’ara (26):42 yang berarti pahala yang banyak (cukup).
5) Untuk
menghinakan atau merendahkan (التحقير),
seperti kata (شيء) dalam Q.S. ‘Abasa
(80):19. Maksudnya adalah bahwa dalam ayat tersebut bermakna manusia diciptakan
Allah dari sesuatu yang hina.
6) Untuk
menyatakan jumlah yng sedikit (التقليل),
seperti kata (رضوان) dalam Q.S. at-Taubah
(9):72. Maksudnya adalah ridha Allah yang sedikit, itu lebih besar daripada
surga-surga yang ada karena merupakan pangkal kebahagiaan.[[7]]
B. Contoh dan Analisisnya
Dalam konteks kaidah kebahasaan yang
diadopsi oleh tafsir, ditemukan misalnya kaidah yang menyatakan bahwa: “Pengulangan
kata yang sama dalam satu redaksi, bila ia berbentuk ma’rifat (definit), maka
kata yang pertama sama kandungan maknanya dengan kata yang kedua;
sedangkan bila ia berbentuk Nakirah (indefinit), maka kandungan makna kata yang
kedua berbeda dengan yang pertama. [[8]]
Misalnya, kalam Allah dalam Q.S.
al-Insyirah (94):5-6.
¨bÎ*sù yìtB ÎŽô£ãèø9$# #·Žô£ç„ ÇÎÈ ¨bÎ) yìtB ÎŽô£ãèø9$# #ZŽô£ç„ ÇÏÈ
Artinya:
5.”Karena Sesungguhnya bersama kesulitan
itu ada kemudahan,
6. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”
Di sini kata (العسر) yang berarti kesulitan, berbentuk Ma’rifah ditemukan
dua kali. Masing-masing pada ayat 5 dan 6. Ini berarti keduanya mengandung
makna yang sama. Berbeda dengan (يسر)
yang berbentukNakirah, sehingga (يسر)
yang pertama berbeda dengan (يسر) yang kedua. Dari
sini dipahami bahwa setiap ada satu kesulitan dapat ditemukan dua kemudahan. [[9]]
Contoh lain terdapat dalam Q.S.
Ash-Shaaf (61):7 dan Al-An’am (6):21;
ô`tBur ÞOn=øßr& Ç`£JÏB 3“uŽtIøù$# ’n?tã «!$# z>É‹s3ø9$# uqèdur #Ótçô‰ãƒ ’n<Î) ÉO»n=ó™M}$# 4 ª!$#ur Ÿw “ωöku‰ tPöqs)ø9$# tûüÏHÍ>»©à9$# ÇÐÈ
Artinya: “Dan siapakah yang lebih zalim daripada
orang yang mengada-adakan Dusta terhadap Allah sedang Dia diajak kepada Islam?
dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zalim.”(Q.S Ash-Shaaff/61:7)
ô`tBur
ÞOn=øßr&
Ç`£JÏB
3“uŽtIøù$#
’n?tã
«!$#
$¹/É‹x.
÷rr&
z>¤‹x.
ÿ¾ÏmÏG»tƒ$t«Î/
3 ¼çm¯RÎ)
Ÿw
ßxÎ=øÿãƒ
tbqßJÎ=»©à9$#
ÇËÊÈ
Artinya: “Dan siapakah yang lebih aniaya daripada
orang yang membuat-buat suatu kedustaan terhadap Allah, atau mendustakan
ayat-ayat-Nya? Sesungguhnya orang-orang yang aniaya itu tidak mendapat
keberuntungan.” (Q.S. al-An’am [6]:21).
Dalam kedua ayat di atas terdapat
kata (الكذب) dengan memakai (ال),
kata ini disebut Ma’rifah dan kata (كذب)
tanpa memakai (ال) disebut Nakirah.
Setelah diteliti, ternyata perbedaan itu disebabkan berbedanya konteks
ayat-ayat tersebut. Ayat dalam Q.S. ash-Shaaf tersebut, merupakan gambaran
lebih lanjut dari sikap kaum Yahudi yang mendustakan ayat-ayat Allah dan
Rasul-Nya. Karena itulah ayat tersebut membawa kata (الكذب)
dengan memakai (ال) sebagai isyarat dari
Allah terhadap kedustaan yang telah mereka lakukan sebelumnya, karena (ال) di dalam struktur bahasa Arab dapat
berfungsi sebagai petunjuk bahwa kata tersebut sudah disebut sebelumnya secara
eksplisit (‘ahd dzikr), atau sebagai petunjuk bahwa makna kata tersebut
sudah disebut sebelumnya (‘ahd dzihn).
Di dalam Q.S. Ash-Shaaf ayat 7
tersebut, (ال) yang dipakaikan pada
awal (الكذب) tersebut berfungsi ‘ahd dzihn karena
sebelum kata itu disebutkan Allah secara eksplisit di dalam ayat tersebut, pada
ayat sebelumnya terdapat indikasi yang kuat bahwa mereka mendustakan al-Qur’an
yang dibawa oleh Rasulullah saw. sebagaimana tergambar dalam pernyataan mereka:
فلما جاءهم
بالبينات قالوا هذا سحر مبين (6)
Artinya:
“…Maka tatkala Rasul itu (Muhammad) datang
kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: "Ini
adalah sihir yang nyata." Q.S. ash-Shaaf (61):6
Ucapan ini mengandung arti bahwa
mereka mendustakan agama Allah yang dibawa nabi Muhammad saw. Pendustaan yang
tersirat itulah, kemudian dinyatakan Allah secara eksplisit dengan menggunakan
(ال) pada kata (الكذب)
sehingga kata itu menjadi Ma’rifah. Jadi seolah-olah kedustaan
mereka itu telah dikenal sebelumnya. Adapun hilangnya (ال) pada kata (الكذب) dalam ayat
berikutnya (al-An’am), disebabkan karena redaksi ayat-ayat tersebut berdiri
sendiri, tidak seperti ayat yang pertama itu. Selain itu ada pula faktor yang
mendorong untuk mengungkapkan kata tersebut dalam bentuk Nakirah,
yaitu dipakainya kata penghubung (أو)
yang berarti atau. Dengan demikian maka konotasi makna kalimat itu ikut berubah
sebab dengan masuknya (أو) redaksinya
memberikan pengertian bahwa mereka tidak hanya sekedar berbohong, melainkan
juga berkata yang bukan-bukan terhadap Allah serta mendustakan ayat-ayat-Nya.
Jika memang begitu, mengapa ayat 144 dari al-An’am, yaitu:
فمن أظلم ممن
افترى على الله كذبا ليضل الناس بغير علم, إن الله لا يهدى القوم الظالمين
(144)
Artinya:
“…Maka siapakah yang lebih zhalim daripada
orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia
tanpa pengetahuan? Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang zhalim.”Q.S. al-An’am (06):144
Pada ayat di atas juga terdapat kata
(كذبا) tanpa (أل),
padahal di dalamnya tidak terdapat kata (أو).
Akan tetapi, redaksi yang terletak setelahnya, berkonotasi bahwa siapa saja
yang sesat di antara mereka itu ialah sebagai akibat dari pemalsuan mereka
terhadap ayat-ayat Allah.[[10]]
Kendati banyak contoh yang
membuktikan kebenaran kaidah ini, namun tidak semuanya demikian. Dapat dilihat
dalam Firman Allah Q.S. az-Zukhruf (43):84 sebagaimana berikut:
وهوالذي في
السماء إله وفي الأرض إله, وهو االحكيم العليم (84)
Artinya:
“Dan Dialah Tuhan (yang disembah) di langit
dan Tuhan (yang disembah) di bumi dan Dia-lah yang Maha Bijaksana lagi Maha
mengetahui.” Q.S. az-Zukhruf (43):84
Kata (إله)
pada ayat ini diulangi dua kali dan keduanya bersifat Nakirah,
sehingga sepintas terkesan ayat ini bermakna bahwa ada Tuhan di langit dan ada
lagi Tuhan yang berbeda di bumi. Ini tentu saja bukan makna yang lurus dan
benar. Dari sini ulama-ulama tafsir, tanpa mempersalahkan kaidah, menegaskan
bahwa yang dimaksud dengan kaidah (إله)
pada ayat tersebut bukan dalam arti dzat Allah, akan tetapi ketuhanan-Nya.
Dengan demikian, ayat di atas bermaksud menyatakan bahwa ketuhanan Allah
berlaku bukan hanya di langit saja atau di bumi saja, akan tetapi juga pada
keduanya.[[11]] Wallahu A’lam.
BAB III
PENUTUP
v
Kesimpulan
Setelah dipaparkan isi makalah di atas, maka dapat
disimpulkan bahwasanya kaidah-kaidah kebahasaan yang salah satunya adalah Ma’rifah
– Nakirah (At-Ta’rif wa
At-Tankir), sangatlah besar pengaruhnya dalam rangka mengambil makna
dari sebuah penafsiran al-Qur’an. Apa yang berlaku dalam kaidah bahasa Arab,
secara umum juga berlaku dalam al-Qur’an, karena ia sebagaimana kita ketahui
memang diturunkan dalam bahasa Arab. Jika tanpa menguasai bahasa Arab secara
baik, seseorang akan sulit dalam memahami al-Qur’an.
Kaidah tentang ma’rifah dan nakirah (ta’rif dan
tankir) mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam penafsiran. Penafsiran yang
tidak memperhatikan kaidah-kaidah ta’rif dan tankir bisa menimbulkan
kekeliruan. Di samping mengetahui definisi ta’rif dan tankir bahwa kapan suatu
kata disebut ta’rif dan kapan disebut tankir yang perlu diperhatikan adalah
kaidah-kaidah pengulangan ta’rif dan tankir itu. Ada 4 kaidah dasar pengulangan
ta’rif dan tankir yang harus diperhatikan khususnya :
1. Ma’rifah dengan ma’rifah (إعادة
المعرفة بالمعرفة تفيد عين النفس).
2. Ma’rifah dengan nakirah (إعادة
المعرفة بالنكرة تفيد عين الأخر).
3. Nakirah dengan nakirah (إعادة
النكرة بالنكرة تفيد عين الأخر).
4. Nakirah dengan ma’rifah (إعادة
النكرة بالمعرفة تفيد عين النفس).
Tetapi tidak semua
kaidah itu dapat diberlakukan di dalam ayat-ayat Al-Quan, ada beberapa ayat
yang tidak sesuai jika diterapkan kaidah di atas, tetapi hal itu dapat
dikompromikan misalnya jika ayat itu yang dimaksud adalah tidak termasuk
kategori pengulangan, karena yang namanya pengulangan syaratnya adalah :
1. Kedua kata yang
berulang itu masih dalam satu ungkapan.
2. Pengulangan itu
berasal dari satu pembicara yang sama (tidak dari pembicara yang berbeda).
3. Ada hubungan erat
antara kata yang pertama dengan kata yang kedua yang memakai huruf athaf (kata
penghubung).
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Zarkasyi, al-Burhan
Fiy Ulum al-Quran-Jilid Empat, Beirut: Dar Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001
Baidan,
Nashruddin, Metode Penafsiran al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002.
________________, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005.
Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an Jilid
II, Jakarta: Lentera Hati, 2010.
Tim Penyusun, Al-Qur’an al-Karim dan
Terjemahannya, Kudus: Menara, 1974.
Nor Ichwan. Memahami Bahasa Al-Qur’an Refleksi atas Persoalan Linguistik. Semarang: Pustaka Pelajar. 2002. hlm. 3.
Syaikh Muhammad bin Abdullah
bin Malik al-Andalusy. Tarjamah Matan Alfiyah. Jakarta: PT
Al-Ma’arif. 1990. hlm. 35.
Usman, Ilmu
Tafsir, Yogyakarta: Teras, 2009.
[2]
Nor Ichwan. Memahami Bahasa Al-Qur’an Refleksi
atas Persoalan Linguistik. Semarang:
Pustaka Pelajar. 2002. hlm. 3.
[3]
Syaikh Muhammad bin Abdullah
bin Malik al-Andalusy. Tarjamah Matan Alfiyah. Jakarta: PT
Al-Ma’arif. 1990. hlm. 35
[4] Al-Zarkasyi, al-Burhan
Fiy Ulum al-Quran-Jilid Empat, (Beirut: Dar Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001),
hlm. 105.
[11] M. Quraysh
Shihab, Op.cit., hlm. 637.