‘URF DAN ADAT ISTIADAT SEBAGAI
SUMBER HUKUM
Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah Ushul
Fiqh
Dosen
Pembimbing: Muhammad Zuhdi Zaini, M.Ag.

DISUSUN
OLEH
KELOMPOK IX
Fikri Ihsan (1113034000189)
Dini Asrianti (1113034000225)
Muhammad Abdul Fatah (1113034000229)
Jurusan
Tafsir Hadis Semester II/F
Fakultas
Ushuluddin
Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kehadirat
Allah swt yang telah member rahmat dan hidayah-Nya serta akesehatan,
keselamatan kepada kita semua, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini
dengan baik. Semata-mata hanya untuk menyempurnakan materi kuliah USHUL FIQH, dalam bentuk makalah yang
berjudul “’Urf dalam adat istiadat
sebagai sumber hukum.”
Penulis berharap apa yang telah
penulis tuliskan ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para
pembaca umumnya. Tak lupa pula penulis ucapkan ribuan terima kasih kepada Bapak
dosen yang telah memberikan ilmunya dan pengarahannya serta bantuannya kepada
penulis dalam penyelesaian tugas ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini
masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Untuk itu, saran dan kritik
yang bersifat memperbaiki dari para pembaca sangat penulis harapkan.
Atas segala perhatiannya penulis
ucapkan terima kasih. Penulis berharap semoga penyajian makalah penulis ini
dapat diterima bagi para pembaca. Semoga Allah swt senantiasa memberikan rahmat
dan hidayah-Nya kepada kita semua. Aamiin.
Jakarta,
April 2014
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR………………………………………………………..i
DAFTAR
ISI…………………………………………………………............ii
BAB I
PENDAHULUAN……………………………………………………1
1.
Latar Belakang……………………………………………………………….1
2.
Rumusan Masalah………………………………………………………….....2
3.
Tujuan
Pembahasan………………………………………………………......2
BAB II
PEMBAHASAN…………………………………………………......3
A.
Pengertian
‘Urf…………………………………………………………..........3
B.
Macam-macam ‘urf…………………………………………………………...4
1. Dari segi objeknya (materi yang biasa
dilakukan)…………………………...4
2. Dari segi cakupannya (ruang lingkup
penggunaannya)……………………….5
3. Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’ (penilaian baik dan
buruk)…...6
C.
Kehujjahan
‘urf……………………………………………………….............9
BAB III
PENUTUP………………………………………………………......9
KESIMPULAN……………………………………………………………....9
DAFTAR
KEPUSTAKAAN………………………………………………...10
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
‘Urf
merupakan istilah Islam yang dimaknai sebagai adat kebiasaan. ‘Urf
terbagi menjadi ucapan atau perbuatan dilihat dari segi objeknya, menjadi Umum
atau Khusus dari segi cakupannya, menjadi sah atau rusak dari segi keabsahan
menurut syariat. Para ulama ushul fiqih bersepakat bahwa Adat (‘urf) yang sah
ialah yang tidak bertentangan dengan syari'at.
Bangsa Arab sebelum dan sesudah kedatangan Islam cenderung
memegang teguh praktek-praktek hidup, tradisi atau adat. Bagi mereka, hukum
yang sudah berlaku dan diakui oleh masyarakat merupakan hukum yang sah dan
harus diikuti. Konsep adat yang menjadi hukum ini sebenarnya hanyalah pada
masalah politik saja, tapi tampaknya setelah meninggalnya Rasulullah SAW konsep
adat atau tradisi ini berubah atau meluas pada hukum.
Maka tak heran, jikalau mereka sungguh kental dalam memegang
kebiasaan yang sudah berlaku sejak zaman sebelum mereka. Orang Arab mempunyai
kesetiaan kepada pemimpinnya lebih daripada kesetian orang-orang non-Arab
kepada pemimpin mereka, selain itu orang Arab juga mempunyai suatu adat atau
kebiasaan yang sungguh komplek dan berpengaruh satu sama lainnya.
Adat, kebiasaan di sini adalah berarti sama dengan sunnah
sebelum Imam Syafi’i merumuskan Ushul Fikihnya. Imam Syafi’ilah yang kemudian
memberi konotasi sunnah dengan praktek Nabi. Sunnah yang sudah mendapat
konotasi baru inilah yang kemudian menjadi salah satu dasar peletakan Hukum
Islam. Sedangkan sunnah penduduk Madinah, Penduduk Kufah dan Bashrah, yang pada
masa sebelum Syafi’i sangat berperan besar bahkan menjadi salah satu dasar
hukum, kemudian ditolak kecuali mempunyai dasar dari Alquran al-Karim ataupun
Sunnah Nabi.
Jika menilik sejarah, ‘urf ini menjadi sangat berperan dalam
pembentukan Hukum Islam. Hal ini tampaknya berangkat dari anggapan bahwa sunnah
mereka adalah sunnah yang terpelihara dan paling dekat dengan Sunnah Nabi.
Selain itu ternyata ada beberapa persoalan-persoalan hukum yang tidak dengan
rinci diatur dalam Alquran al-Karim ataupun sudah ada dalam praktek atau
keputusan Nabi Muhammad SAW.
Dalam menemukan hukum dan menjawab persoalan-persoalan yang
dihadapi masyarakat, maka Alquran al-Karim dan Sunnah Nabi perlu dijelaskan dan
diambil intisarinya hingga dapat dipahami apakah suatu kebiasaan dalam
masyarakat bisa menjadi hukum apabila tidak bertentangan dengan Alquran
al-Karim dan Sunnah Nabi. Salah satu kajian ushul fiqh yang fokus terhadapa
permasalahan tersebut adalah masalah ‘urf. Makalah ini akan menjelaskan
defenisi ‘urf, macam-macamnya dan kehujjahannya sebagai dalil hukum.
2. Rumusan Masalah
a. Pengertian ‘Urf
b. Macam-macam ‘Urf
·
Dari segi
objeknya
·
Dari segi
cakupannya
·
Dari segi
keabsahannya dari pandangan syara’
c. Kehujjahan ‘Urf
3. Tujuan
Masalah
a. Dapat memahami pengertian ‘uruf, macam-macam dan kehujjahannya
b. Dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan para pembaca
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian ‘Urf
Secara
lughat (bahasa/etimologi) kata ‘Urf
berasal
dari kata ‘arafa, ya‘rufu sering diartikan dengan al-ma‘ruf (اَلْمَعْرُوفُ) dengan
arti sesuatu yang dikenal, berarti “sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh
akal sehat”. Sedangkan arti ‘urf secara harfiah (istilah/terminologi)
adalah suatu keadaan, ucapan, perbuatan atau ketentuan yang telah dikenal
manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya.
Dikalangan masyarakat, ‘urf ini sering disebut sebagai adat.
Sebagaimana kata ‘urf sering disamakan dengan kata adat,
kata adat berasal dari bahasa Arab عَادَةٌ ; akar katanya: ‘ada, ya‘udu (عَادَ-يَعُوْدُ)
mengandung arti perulangan. Adat
menurut arti bahasa adalah cara (kelakuan dan sebagainya) yang sudah menjadi
kebiasaan. Sedangkan adat istiadat adalah: tata kelakuan yang kekal dan
turun-temurun dari generasi satu ke generasi lain sebagai warisan, sehingga
kuat integrasinya dengan pola perilaku masyarakat.
Oleh
karena itu sesuatu yang baru jika dilakukan satu kali belum dinamakan adat.
Kata ‘urf pengertiannya tidak melihat dari segi berulang kalinya suatu
perbuatan dilakukannya, tetapi dari segi bahwa perbuatan tersebut sudah
sama-sama dikenal dan diakui oleh orang banyak orang.
Begitu juga dengan kata‘urf seperti yang dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidah
berarti : Sesuatu yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena telah
menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan
atau perkataan.
Pengertian di atas, juga sama
dengan menurut istilah ahli syara’. Di antara contoh ‘urf yang bersifat
perbuatan adalah adanya saling pengertian di antara manusia tentang jual beli
tanpa mengucapkan shigat. Sedangkan contoh ‘urf yang bersifat ucapan
adalah adanya pengertian tentang kemutlakan lafal Al-walad atas anak
laki-laki bukan perempuan, dan juga tentang meng-itlakkan al-lahm yang
bermakna daging atas as-samak yang bermakna ikan tawar.
Dengan demikian, ‘urf itu
mencakup sikap saling pengertian di antara manusia atas perbedaan tingkatan di
antara mereka, baik keumumannnya atau pun kekhususannya, maka ‘urf berbeda
dengan ijma’ karena ijma’ merupakan tradisi dari kesepakatan para mujtahidin
secara khusus.
v Landasan hukum ‘Urf
‘Urf
tergolong salah satu sumber hukum dari ushul
fiqih yang diambil dari intisari Al-Qur’an.
É‹è{ uqøÿyèø9$# óßDù&ur Å$óãèø9$$Î/ óÚÌôãr&ur Ç`tã šúüÎ=Îg»pgø:$# ÇÊÒÒÈ
"Jadilah engkau pemaaf
dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (Al-‘Urfi), serta berpalinglah dari
orang-orang yang bodoh." (QS. Al-A’raf: 199)
Kata al-‘Urf dalam ayat
tersebut, yang manusia disuruh mengerjakannya, oleh Ulama Ushul fiqih dipahami
sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat. Berdasarkan
itu maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang
telah dianggap baik sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat. Kata
al-ma‘ruf artinya sesuatu yang diakui baik oleh hati. Ayat di atas tidak
diragukan lagi bahwa seruan ini didasarkan pada pertimbangan kebiasaan yang
baik pada umat, dan hal yang menurut kesepakatan mereka berguna bagi
kemaslahatan mereka. Kata al-ma‘ruf ialah kata umum yang mencakup setiap hal
yang diakui. Oleh karena itu kata al-ma‘ruf hanya disebutkan untuk hal yang
sudah merupakan perjanjian umum sesama manusia, baik dalam soal mu‘amalah
maupun adat istiadat.
B. Macam-macam ‘Urf
1. Ditinjau dari segi
objeknya (materi yang biasa dilakukan)
Dari
segi objeknya ‘Urf dibagi kepada : al-‘urf al-lafzhi (kebiasaan yang
menyangkut ungkapan) dan al-‘urf al-amali (kebiasaan yang berbentuk perbuatan).
a.
Al-‘Urf al-Lafzhi (‘Urf qauli) Adalah
kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal/ungkapan tertentu dalam
mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan
terlintas dalam pikiran masyarakat. Misalnya dalam ungkapan kata lahm artinya adalah “daging”. Daging yang dimaksud
berarti daging sapi, padahal kata-kata “daging” mencakup seluruh daging yang
ada. Apabila seseorang mendatangi penjual daging, sedangkan penjual daging itu
memiliki bermacam-macam daging, lalu pembeli mengatakan “ saya beli daging 1
kg” pedagang itu langsung mengambil daging sapi, karena kebiasaan masyarakat
setempat telah mengkhususkan penggunaan kata daging pada daging sapi. Kata lahm artinya adalah “daging”,baik daging
sapi, ikan, atau hewan lainnya. Pengertian umum lahmun yang juga mencakup daging
ikan ini terdapat dalam Al-Qur’an, surat An-Nahl :14
uqèdur ”Ï%©!$# t¤‚y™ tóst7ø9$# (#qè=à2ù'tGÏ9 çm÷ZÏB $VJóss9 $wƒÌsÛ (#qã_Ì÷‚tGó¡n@ur çm÷YÏB ZpuŠù=Ïm $ygtRqÝ¡t6ù=s? ”ts?ur šù=àÿø9$# tÅz#uqtB ÏmŠÏù (#qäótFö7tFÏ9ur ÆÏB ¾Ï&Î#ôÒsù öNà6¯=yès9ur šcrãä3ô±s? ÇÊÍÈ
dan
Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan
daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu
perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan
supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur.
Namun
dalam adat kebiasaan berbahasa sehari-hari di kalangan orang Arab, kata lahmun itu tidak digunakan untuk “ikan”.
Karena itu, jika seseorang bersumpah, “Demi Allah saya tidak memakan daging”,
tetapi ternyata kemudian ia memakan daging ikan, maka menurut ‘adat masyarakat Arab, orang tersebut
tidak melanggar sumpah.
b.
Al-‘urf al-‘amali (‘Urf fi’li) Adalah
kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau mu’amalah
keperdataan. Yang dimaksud “perbuatan biasa” adalah kebiasaan masyarakat dalam
masalah kehidupan mereka yang tidak terkait
dengan kepentingan orang lain, seperti kebiasaan libur kerja pada hari-hari
tertentu dalam satu minggu, kebiasaan masyarakat memakan makanan khusus atau
meminum minuman tertentu dan kebiasaan masyarakat dalam memakai pakaian
tertentu dalam acara-acara khusus.
Adapun
yang berkaitan dengan mu’amalah perdata adalah kebiasaan masyrakat dalam
melakukan akad/transaksi dengan cara tertentu. Misalnya kebiasaan masyarakat
dalam berjual beli bahwa barang-barang yang dibeli itu diantarkan kerumah
pembeli oleh penjualnya, apabila barang yang dibeli itu berat dan besar,
seperti lemari es dan peralatan rumah tangga lainnya, tanpa dibebani biaya
tambahan.
2. Ditinjau
dari segi cakupannya (ruang lingkup penggunaannya)
Dari
segi cakupannya, ‘urf terbagi dua yaitu al-‘urf al-‘am (kebiasaan yang bersifat
umum) dan al-‘urf al-khash (kebiasaan yang bersifat khusus).
a.
Al-‘urf al-‘am adalah kebiasaan tertentu yang bersifat
umum berlaku dimana-mana dan berlaku secara luas di seluruh masyarakat, diseluruh
daerah, dan hamipir di seluruh penjuru dunia, tanpa memandang Negara, bangsa
dan agama. Misalnya: (1) menganggukkan kepala tanda menyetujui dan
menggelengkan kepala tanda menolak atau
menidakkan. Jika ada orang berbuat kebalikan dari itu, maka dianggap aneh atau
ganjil. (2) di mana-mana bila memasuki pemandian umum (kolam renang) yang
memungut bayaran, orang hanya membayar seharga tarif masuk yang ditentukan
tanpa memperhitungkan berapa banyak air yang dipakainya dan berapa lama ia
menggunakan pemandian tersebut. Begitu juga dalam jual beli mobil, seluruh alat
yang diperlukan untuk memperbaiki mobil seperti kunci, tang, dongkrak, dan ban
serep termasuk dalam harga jual, tanpa akad sendiri dan biaya tambahan. Contoh
lain adalah kebiasaan yang berlaku bahwa berat barang bawaan bagi setiap
penumpang pesawat terbang adalah duapuluh kilogram.
b.
Al-‘urf al-khash adalah kebiasaan yang berlaku di
wilayah dan masyarakat tertentu. Misalnya dikalangan para pedagang apabila
terdapat cacat tertentu pada barang yang dibeli dapat dikembalikan dan untuk
cacat lainnya dalam barang itu, konsumen tidak dapat mengembalikan barang
tersebut. Atau juga kebiasaan mengenai penentuan masa garansi terhadap barang
tertentu.
3. Ditinjau dari segi
keabsahannya dari pandangan syara’ (penilaian baik dan buruk)
Dari
segi keabsahannya dari pandangan syara’, ‘urf terbagi dua;
a.
Al-‘urf al-Shahih (yang sah) Adalah kebiasaan yang
berlaku ditengah-tengah masyarakat atau sesuatu yang telah saling dikenal manusia yang
tidak bertentangan dengan nash atau dalil syara’ yaitu (ayat atau hadis) tidak
menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa mudarat kepada
mereka. Dengan kata lain, 'urf yang tidak mengubah ketentuan yang haram menjadi
halal atau sebaliknya. tidak menghalalkan yang haram dan juga tidak mengharamkan
yang halal (tidak membatalkan yang wajib). Misalnya, Seperti adanya saling pengertian
di antara manusia tentang kontrak borongan, pembagian mas kawin (mahar) yang
didahulkan dan diakhirkan. Begitu juga bahwa istri tidak boleh menyerahkan
dirinya kepada suaminya sebelum ia menerima sebagian dari maharnya. Juga
tentang sesuatu yang telah dberikan oleh pelamar (calon suami) kepada calon
istri, berupa perhiasan, pakaian atau apa saja, dianggap sebagai hadiah dan
bukan merupakan sebagian dari mahar.
b.
Al-‘urf al-fasid (yang rusak) Adalah kebiasaan yang
berlaku ditengah-tengah masyarakat atau sesuatu yang telah saling dikenal manusia, dan
kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara’, tetapi bertentangan dengan dalil-dalil
syara’, menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal (membatalkan yang
wajib). Seperti adanya saling pengertian di antara manusia tentang beberapa
perbuatan munkar dalam ucapan kelahiran anak, juga tentang memakan barang riba
dan kontrak judi. Misalnya, berjudi untuk merayakan suatu
peristiwa, pesta dengan menghidangkan minuman haram, membunuh anak perempuan
yang baru lahir, dan kumpul kebo (hidup
bersama tanpa nikah) dan ini terjadi pada zaman jahiliyah. Begitu juga kebiasaan
yang berlaku dikalangan pedagang dalam menghalalkan riba, seperti peminjaman
uang antara sesama pedagang. Uang yang dipinjam sebesar sepuluh juta rupiah
dalam tempo satu bulan, harus dibayar sebanyak sebelas juta rupiah apabila
jatuh tempo, dengan perhitungan bunganya 10%. Dilihat dari segi keuntungan yang
di raih peminjam, penambahan utang sebesar 10% tidaklah memberatakan, karena
keuntungan yang diraih dari sepuluh juta rupiah tersebut mungkin melebihi
bunganya yang 10%. Akan tetapi praktik seperti ini bukanlah kebiasaan yang
bersifat tolong menolong dalam pandangan syara’, karena pertukaran barang
sejenis, menurut syara’ tidak boleh saling melebihkan. dan praktik seperti
ini adalah praktik peminjaman yang berlaku di zaman jahiliyah, yang dikenal dengan
sebutan Riba al-nasi’ah (riba yang muncul dari hutang piutang). Oleh sebab itu,
kebiasaan seperti ini, menurut Ulama Ushul fiqh termasuk dalam kategori al-‘urf
al-fasid.
Para ulama sepakat,
bahwa al-urf al-fasid ini tidak dapat menjadi landasan hukum, dan kebiasaan
tersebut batal demi hukum.
1. Hukum ‘Urf
a. Hukum ‘Urf Shahih dan Pandangan Para Ulama
Telah disepakati bahwa ;urf shahih
itu harus dipelihara dalam pembentukan hukum dan pengadilan. Maka seorang mujtahid
diharuskan untuk memeliharanya ketika ia menetapkan hukum. Begitu juga
seorang Qodhi (hakim) harus memeliharanya ketika sedang mengadili. Sesuatu
byang telah saling dikenal manusia meskipun tidak menjadi adat kebiasaan,
tetapi telah disepakati dan dianggap mendatangkan kemaslahatan bagi manusia
serta selama hal itu tidak bertentangan dengan syara’ harus dipelihara.
Dan
syari’ pun telah memelihara ‘urf bangsa arab yang shahih, dalam membentuk
hukum, maka difardhukan lah diat (denda) atas perempuan yang berakal,
disyaratkan kafa’ah (kesesuaian) dalam hal perkawinan, dan diperhitungkan pula
adanya ‘ashabah (ahli waris yang bukan penerima bagian pasti dalam hal
kematian dan pembagian harta pusaka).
Di antara para ulama ada yang
berkata, “Adat adalah syaria’at yang dikukuhkan sebagai hukum”. Begitu juga
‘urf menurut syara’ mendapat pengakuan hukum. Imam malik mendsarkan sebagian
besar hukumnya pada perbuatan penduduk madinah. Abu Hanifah bersama
murid-muridnya berbeda pendapat dalam beberapa hukum dengan dasar atas
perbuatan ‘urf mereka. Sedangkan Imam Syafi’i ketika sudah berada di Mesir,
mengubah sebagian pendapatnya entang hukum yang telah dikeluarkannya ketika
beliau berada di Baghdad. Hal ini karena perbedaan ‘urf, maka tak heran kalau
beliau mempunyai dua mazhab, madzhab qadim (terdahulu/pertama) dan madzhab
jadid (baru).
Begitu
pula dalam fiqh hanafiyah, banyak hukum-hukum yang berdasarkan atas ‘urf, di
antaranya apanbila berselisih antara dua orang terdakwa dan tidak terdapat
saksi bagi salah satunya, maka pendapat yang dibenarkan (dimenangkan) adalah
pendapat orang yang disaksikan ‘urf. Apabila suami istri tidak sepakat atas
mahar yang muqaddam (terdahulu) atau yang mu’akhar (terakhir) maka hukumnya
adalah ‘urf. Barang siapa bersumpah tidak akan makan daging, kemudian ia makan
ikan tawar, maka tidak berarti bahwa melanggar sumpahnya menurut dasar ‘urf.
Pendapat
yang dinukilkan itu adalah sah apabila telah menjadi ‘urf. Jadi, syarat sah
akad itu apabila ketentuan tentang hal itu terdapat dalam syara’, atau apabila
ditntut oleh akad atau apabila berjalan padanya ‘urf. Al-Marhum Ibnu Abidin
telah menyusun risalah yang ia namakan “Menyebarkan ‘urf di antara
hukum-hukum yag dibentuk berdasarkan ‘urf”. Di antara ungkapannya yang
terkenal, “apa-apa yang dimengerti secara ‘urf adalah seperti yang diisyaratkan
menurut syara’ dan apa-apa yang telah tetap menurut ‘urf adalah seperti yang
telah ditetapkan menurut nash.
b. Hukum ‘urf fasid
Adapun ‘urf yang rusak,
tidak diharuskan untuk memeliharanya, karena memeliharanya itu berarti
memantang dalil syara’ atau membatalkan dalil syara’. Apabila manusia telah
saling mngerti akad-akad yang rusak, seperti akad riba atau akad gharar atau
khatar (tipuan dan membahayakan), maka bagi ‘urf ini tidak mempunyai
pengaruh dalam membahayakannya.
Dalam
undang-undang positif manusia, ‘urf yang bertentangan dengan
undang-undang umum tidak diakui, tetapi dalam contoh akad ini bisa ditinjau
dari segi lain, yaitu apakah akad tersebut dianggap darurat atau sesuai dengan
hajat manusia? Artinya apabila akad tersebut membatalkan, maka berarti menipu
peraturan kehidupan mereka atau mereka memperoleh kesulitan jika hal itu
termasuk darurat atau kebutuhan mereka, akad itu diperbolehkan, karena dalam
keadaan darurat dibolehkan melakukan hal-hal yang telah diharamkan, sedang
hajat itu bisa menduduki tempat kedudukan darurat. Namun, jika tidak termasuk
darurat atau kebutuhan mereka, maka dihukumi dengan baatalnya akad tersebut dan
berdasarkan hal ini maka ;urf tidak diakui.
Hukum-hukum
yang didasarkan ‘urf itu dapat berubah menurut perubahan jaman dan perubahan
asalnya. Karena itu, para Fuqaha berkata, “ perselisihan itu adalah
perselisihan masa dan jaman, bukan perselisihan hujjah dan bukti”.
C. Kehujjahan ‘Urf
‘Urf menurut penyelidikan bukan
merupakan dalil syara’ tersndiri. Pada umumnya ‘urf ditunjukkan untuk
memelihara kemaslahatan umat serta menunjang pembentukan hukum dan penafsiran
beberapa nash. Dengan ‘urf dikhususkan lafal yang “Amm (umum) dan
dibatasi yang mutlak. Karena ‘urf pula terkadang qiyas itu ditinggalkan.
Karena itu, sah mengadakan kontrak borongan apabila ‘urf sudah terbiasa
dalam hal ini, sekalipun tidak sah menurut qiyas, karena kontrak
tersebut adalah kontrak atas perkara yang ma’dum (tiada)
BAB III
PENUTUP
v KESIMPULAN
Dalam arti harfiyah‘Urf adalah suatu keadaan, ucapan,
perbuatan atau ketentuan yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi
untuk melaksanakannya atau meninggalkannya.
Macam-macam‘urf terdiri
dari tiga bagian,yaitu:
a. Ditinjau dari segi objeknya (materi yang biasa dilakukan) ‘Urf dibagi kepada : al-‘urf al-lafzhi
(kebiasaan yang menyangkut ungkapan) dan al-‘urf al-amali (kebiasaan yang
berbentuk perbuatan).
b.
Ditinjau dari segi cakupannya, (ruang
lingkup penggunaannya) ‘urf terbagi dua yaitu al-‘urf al-‘am (kebiasaan
yang bersifat umum) dan al-‘urf al-khash (kebiasaan yang bersifat khusus).
c. Dari
segi keabsahannya dari pandangan syara’ (penilaian baik dan buruk), ‘urf
terbagi dua yaitu Al-‘urf al-Shahih
(yang sah) dan Al-‘urf al-fasid (yang rusak).
DAFTAR PUSTAKA
Syafe’i Rachmat, Prof. DR. M.A. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999 M
Syarifuddin Amir, Prof. DR.
H. Ushul Fiqh Jilid II. Jakarta: PT
Logos Wacana Ilmu, 1999 M
Syekh Abdul Wahab Khallaf. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 1993 M